Selamat Datang di Blog Anggylhy 26

Filsafat Al Farabi




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Kemajuan umat islam terdahulu telah melahirkan filusuf-filusuf muslim yang militan dibidangnya. Kemajuan dari berbagai ilmu pengetahuan seperti matematika, kimia, fisika, astronomi, geografi, psykologi, kedokteran,filsafat dll. Masih banyak ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh pakar keilmuan muslim pada masa itu. Terutama para filusuf yang membuka alam pemikiran yang radikal serta mampu menganalisis sampa ke akar-akarnya.
Maka dari itu kami akan membahas salah satu filusuf muslim yang cakap di berbagai ilmu pengetahuan. Nama yang sering kita temukan ketika mempelajari filsafat islam yaitu Al-farabi. Al-Farabi merupakan seorang ilmuan Islam yang menguasai pelbagai ilmu pengetahuan tetapi beliau lebih cenderung dalam bidang falsafah dan mantiq. Sepanjang hayatnya al-Farabi kerap mengembara di samping berguru dengan ahli pujangga dan ahli falsafah yang masyhur untuk mendalami ilmunya. Beliau merupakan tokoh falsafah Islam yang sangat gigih dalam bidang penulisannya dan dikatakan menulis sekitar 100 karya ilmiah.
Oleh kerana pelbagai falsafah serta penulisan yang dilakukan oleh al-Farabi telah menjadikan beliau merupakan seorang tokoh yang terkenal dan disegani pada masa itu.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana deskripsi potret riwayat hidup Al-Farabi?
2.      Bagaiman deskripsi pemikiran filsafat Al-farabi?
3.      Apa hasil karya-karya Al-farabi?
C.      Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan potret riwayat hidup Al-Farabi
2.      Untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat Al-Farabi
3.      Untuk mengetahui hasil karya-karya Al-Farabi
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama asal Al-Farabi ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan Al-Uzdag. Beliau dilahirkan di Wasij, yaitu di wilayah Transosiana, di negara Turkestan. Beliau dikatakan lahir pada tahun 257 H bersamaan 870 Masihi, pada zaman pemerintahan kerajaan samaniah. Al-Farabi dikatakan berketurunan Turki, bapaknya berketurunan Persia dan ibunya  berketurunan Turki. Pada zaman pemerintahan kerajaan Samaniyah, bapaknya bekerja sebagai seorang pegawai tentera kerajaan sedangkan perkerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas.
Al-Farabi dikatakan mendapat pendidikan awal dari guru-guru persendirian, selama ada beliau pergi belajar di rumah guru ataupun beliau belajar secara formal di masjid-masjid yang terdapat di Wasij, seterusnya beliau dikatakan dibesarkan semasa pemerintahan Nasir Ibnu Ahmad.
Al-Farabi tidak seperti beberapa tokoh atau sarjana muslim yang lain, ini karena beliau tidak menulis mengenai riwayat hidupnya sendiri berbanding dengan tokoh yang lain yang membuat biografi tentang kehidupan mereka. Juga Al-Farabi dikatakan memiliki atau mempunyai daya akal yang tinggi sejak dari kecil lagi, ini karena dalam usia mudanya beliau telah belajar dan mampu belajar berbagai ilmu. Al-Farabi juga dikatakan dapat menguasai beberapa bahasa asing, antaranya bahasa Syria, Arab, Greek, dan beberapa bahasa lagi sebagaimana yang telah kita ketahui bahawa Al-Farabi berasal dari wasij dan keluarga berketurunan Turki, penguasaan ini tidak akan dicapai tanpa keinginan yang tinggi.
Al-Farabi juga menguasai berbagai bidang dalam ilmu keagamaan, antaranya ilmu Nahu, Tafsir, Hadis, Fiqh, dan sebagainya, selain itu beliau juga mahir dalam berbagai cabang falsafah, ilmu lingkungan, ilmu militer dan ilmu musik, walaupun Al-Farabi mahir dalam berbagai bidang tetapi beliau lebih tertarik ataupun lebih memberikan perhatiannya pada bidang falsafah dan logika.
Al-Farabi juga lebih dikenali sebagai guru kedua, beliau dikenali sebegitu selepas Aristotle sebagai guru pertama, ini kerana beliau sentiasa mengkaji buku-buku yang dihasilkan oleh Aristotle, mahupun mengkaji mengenai diri Aristotle. Al-Farabi dikatakan mempunyai ramai guru-guru, tetapi yang utama ataupun yang lebih diberikan perhatian dan masyhur ialah Ibn Hailan dan Matta ibn Yunus, kedua-dua guru beliau ini mahir di dalam bidang logik dan falsafah.
Pada tahun 287 Hijrah bersamaan 900 Masihi merupakan pengembaraan pertama Al-Farabi ke negara luar yaitu Baghdad bersama gurunya yang tidak asing lagi ialah Ibnu Hailan. Kedatangan Al-Farabi ke Baghdad bersama gurunya adalah untuk mempelajari logik dan mendalaminya.Seterusnya pada tahun 298 Hijrah bersamaan 908 Masihi, beliau telah meninggalkan Baghdad bersama gurunya untuk ke Harran seterusnya meneruskan perjalanan ke Konstentinople, beliau ke sana untuk mempelajari falsafah dengan mendalam yang mana gurunya iaitu Ibnu Hailan bertindak sebagai penyelia beliau dalam pembelajaran tersebut.
Pada tahun 297 Hijrah bersaman 910 Masihi, beliau telah kembali lagi ke Baghdad. Kembalinya beliau ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengkaji buku-buku yang di tulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Pada tahun 330 Hijrah bersama 942 Masihi, Al-Farabi telah berpindah ke Damsyik iaitu satu daerah di negara Syria akibat kekacauan dan ketidakstabilan politik yang berlaku di Baghdad.
Pada tahun 332 Hijrah bersamaan 944 Masihi Al-Farabi dikatakan telah pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan beliau di sana, tapi menurut Abi Usaibiyah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, mengatakan Al-Farabi telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir iaitu sekitar tahun 337 Hijrah. Seterusnya pada tahun 338 Hijrah bersamaan 949 Masihi Al-Farabi telah kembali semula ke Damsyik, sekembalinya ke sana adalah untuk menghabiskan sisa-sisa hidupnya sebagai seorang cendiakawan di sebuah istana di Aleppo semasa pemerintahan Syria baru iaitu seorang putera Handaniyah bergelar Saf Al-Daulah, yang tertarik dengan kebijaksanaan dan kepandaian beliau. Serta kehidupannya sebagai seorang ahli sufi.
Pada bulan Rajab 339 Hijrah bersamaan 950 Masihi, Al-Farabi telah meninggal dunia di damsyik, semasa beliau berumur 80 tahun. Beliau telah dimakamkan di sana, yaitu di sebuah perkuburan dibagian luar pintu selatan atau pintu sampingan kota tersebut.
B.       Pemikiran Filsafat Al-Farabi
1.    Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat (al-falsafah at-tauqiyyah atau wahdah al-falsfah) yang berkembang sebelumnya.terutama pemikiran plato, aristoteles, dan plotinus juga antara agama dan falsafah. Karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yag mempercayai kesatuan filsafat.[1] Dalam ilmu logika dan fisika ia di pengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik ia di pengaruhi oleh plato. Sedangkan dalam persoalan metafisika, ia dipengaruhi oleh plotinus.
Usaha ke arah sinkretis pemikiran telah dimulai munculnya neo-platonisme. Namun, usaha Al-Farabi lebih luas karena ia bukan saja mempertemukan ragam aliran filsafat, juga penekanannya bahwa aliran-aliran filsafat itu pada hakikatnya satu, meskipun pemunculannya berbeda corak ragamnya.
Usaha mempertemukan dua filsafat yang berbeda pendapat seperti halnya antara Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengaku bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal tersebut diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea sebagai satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentanganpikiran antara keduanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat di lauar alam ini. Jadi ke dua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada dzat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
a.       Definisi yang dibuat dalam filsafat tidak benar ;
b.      Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran falsafi dari kedua filosuf tersebut terlalu dangkal. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam-dasar-dasar falsafi;
c.       Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar. Padahal definisi filsaft menurut keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak (al-ilm bi al-maujudat bima hiya maujudah)
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu padakebenaran, dan kebenaran itu hanyalah satu, kendatipun dan cara memperoleh kebenaran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan yang lainnya mencari kebenaran. Tetapi kebenaran yang terdapat pada keduanya adalah serasi karena bersumber dari akal aktif. Kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan akal Mustafad, sedangkan Nabi melalui perantaraan wahyu. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaraan antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu di pergunakan ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsaft yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran islam. Hal ini tidak berarti Al-Farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran islam mutlak kebenarannya. 
2.    Metafisika
a.    wujud
Adapun masalah ketuhanan, Al-Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan neo-platonisme yakni Al-Maujud Al-Awwal sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keEsaan dalam ajaran islam. Dalam pembuktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.[2]
Wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya esensi dan wujudnya adalah sama satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada, jika wujud ini tidak ada maka akan timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya karena tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan tuhan sedangkan mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama antara yang berwujud dan tidaknya. Mumkin al-wujud tidak mungkin berubah menjadi wujud aktual tanpa danya wujud yang menguatkan, dan yang wujud itu bukanlah dirinya melainkan wajib al-wujud. walaupun mungkin demikian mustahi terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum), karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada wajib al-wujud.
b.      Sifat Tuhan
Tentang sifat tuhan Al-Farabi sejalan dengan paham al-mu’tazilah, yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Orang boleh saja menyebut asma’ul husna sebanyak yang diketahuinya, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari zat-Nya.[3]
Bagi Al-Farabi, Tuhan adalah aqal murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya saja. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Jadi tuhan adalah aql aqil dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir, dan substansi yang dipikirkan). Demikian itu Tuhan Maha Tahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu di luar zat-Nya. Untuk tahu dan juga memberitahukan untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi, Tuhan adalah ilmu substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui. (‘ilm ‘alim, dan Ma’lum).[4]   
Karena tuhan agung dan sempurna, maka ia mencintai dan merindukan zatnya sendiri. Dengan demikian, maka tuhan itu adalah zat yang merindukan pula(as asyiq dan al ma’syuk)
Dari uraian di atas nampaklah bahawa Al-Farabi berusaha keras dalam menunjukkan keesaan tuhan dan ketunggalannya dan bahawa sifat-sifatnya tidak lain adalah zatnya sendiri
c.       Ilmu Ketuhanan
Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyah (particular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘Aql hanya dapat menangkap yang kulli (Universal). Sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan panca indera. Karena itu pengetahuan-Nya tentang yang juz’i tidak secara langsung, melainkan ia sebagai sebab bagi yang juz’i.
d.      Emanasi
Tentang penciptaan alam, al-Farabi menggunakan teori Neo-Platonisme-monistik tentang emanasi. Filsafat yunani seperti halnya Aristoteles, menganggap bahwa Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (prima causa). Sedangkan dalam dokrin muttakaliamin Tuhan adalah Pencipta (Shant ;Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada (iijad minal ‘adam-cretio ex nihilio). Bagi Al-farabi Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi alam dengan energi yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karena itu, menurut filosuf kun Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan Tuhan kepada Syai’i bukan kepada la syai’i.

Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama(الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجودالثالث)disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى). Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (السماءالأولى) , First Heaven.
Wujud Ketiga/Akal Kedua
-Tuhan = Wujud Keempat/Akal Ketiga
-Dirinya = الكواكبالثابتة (bintang-bintang)
Wujud Keempat/Akal Ketiga
-Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
-Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
-Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
-Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
-Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
-Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.[5]
Tujuan Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang Esa berhubungan dengan yang tidak Esa atau banyak. Andaikata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi, dari Tuhan yang maha esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.

3.    Jiwa
Adapun tentang jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus, jiwa bersifat rohani, buka materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu :
a.       Gerak (المحركة, motion)
·         Makan (الغاذية, nutrition)
·         Memelihara (المربية, preservation)
·         Berkembang (المولدة, reproduction)
b.      Mengetahui (المدركة, cognition)
·         Merasa (الحاسة , sensation)
·         Imajinasi (المتخيلة , imagination)
c.       Berpikir ( , intelection)
·         Akal praktis (العقل العملي , practical intellect)
·         Akal teoritis (العقل النظري , theoritical intllect)

4.    Politik
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[6] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
a.       Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
b.      Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
c.       Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna didalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[7]

5.    Moral
Konsep moral Al-Farabi menjadi hal terpenting dalam karya-karyanya, berkaitan erat denganpembicaraan tentang jiwa dan politik. Dalam buku Risalah Fi At-Tanbih ‘ala subul al-sa’adah dan Tahsil al-Sa’adah, Al-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni:
a.       Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalanya, juga di peroleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar dan mengajar.
b.      Keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk kemampuan membuat aturan-aturan.
c.       Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaiakan. Jenis keutamaan ini berada di bawah menjadi syarat keutamaan pemikiran.
d.      Keutamaan amaliah, diperoleh dua cara, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah pemaksaan.
Selain keutamaan di atas, Al-Farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut. Berani misalnya, adalah sifat terpuji yang terletak di antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) terletak di antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri (iffah) terletak antara dua sifat tercela, keberandalan (khala’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.  

6.    Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat). Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Mustafad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.[8]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi. tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.[9]
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan dari atas.[10]
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[11]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk.  Imajinasi mempunyai  kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali  karena perbedaan faktor-faktor  yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.]
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[12]
Kenabian juga bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual

C.      Karya-Karya Al-Farabi
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa,, metafisika, kimia, ilmu politik, musik dll. Tapi kebanyakan karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1.      Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails     (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2.      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4.      Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5.      Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
6.      As Syiyasyah (ilmu politik)
7.      Fi Ma’ani Al Aqli
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
9.      At Tangibu ala As Sa’adah
10.  Ishbatu Al Mufaraqaat
11.  Al Ta’liqat
12.  Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari buku Metafisika)
13.  ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)

Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan bagian yaitu :
1.      Al Maqulaati Al Asyr (kategori)
2.      Al Ibarat (ibarat)
3.      Al Qiyas (analogi)
4.      Al Burhan (argumentasi)
5.      Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6.      Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7.      Al Hithobah (ilmu pidato)
8.      Al Syi’ir (Puisi)



[1] Ibrahim madkour, “Al-Farabi”, dalam M.M. Sharif, (ed), A History of muslim philosofy, Vol. I (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), hlm. 456.
[2] T.J. De Boer, Tarikh al-falsafah fi al-islam, terjemah arab oleh Abd Al-Hadi Abu Raidah (Kairo: Lajnah At-talif wa al-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1938 ), hlm 139
[3] De Boer , 140
[4] Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah Al-Fadilah ( maktabah mathba’ah Muhammad Ali, tt) hlm. 8-9.
[5] Hasymsyah Nasution, filsafat islam , 2005 .hlm 38
[6] ]Eduarny Tarmiji, Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2008), hal. 13.
[8] Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[9] Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[10] M. M. Syarif,  Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 77.

[11] H.A. Mustofa,   Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),  hal. 137.
[12] ]MM Syarif, Op.Cit., hal. 75.
Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

 
Support : Link here | Link here | Link here
Copyright © 2014. @26 Selalu Dihati Selalu Dinanti - All Rights Reserved
Template by Anggylhy Published by Cargam Schoolzine
Proudly powered by Blogger