BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kemajuan
umat islam terdahulu telah melahirkan filusuf-filusuf muslim yang militan
dibidangnya. Kemajuan dari berbagai ilmu pengetahuan seperti matematika, kimia,
fisika, astronomi, geografi, psykologi, kedokteran,filsafat dll. Masih banyak
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh pakar keilmuan muslim pada masa itu.
Terutama para filusuf yang membuka alam pemikiran yang radikal serta mampu
menganalisis sampa ke akar-akarnya.
Maka
dari itu kami akan membahas salah satu filusuf muslim yang cakap di berbagai
ilmu pengetahuan. Nama yang sering kita temukan ketika mempelajari filsafat
islam yaitu Al-farabi. Al-Farabi merupakan seorang ilmuan Islam yang
menguasai pelbagai ilmu pengetahuan tetapi beliau lebih cenderung dalam bidang
falsafah dan mantiq. Sepanjang hayatnya al-Farabi kerap mengembara di samping
berguru dengan ahli pujangga dan ahli falsafah yang masyhur untuk mendalami
ilmunya. Beliau merupakan tokoh falsafah Islam yang sangat gigih dalam bidang
penulisannya dan dikatakan menulis sekitar 100 karya ilmiah.
Oleh
kerana pelbagai falsafah serta penulisan yang dilakukan oleh al-Farabi telah
menjadikan beliau merupakan seorang tokoh yang terkenal dan disegani pada masa
itu.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
deskripsi potret riwayat hidup Al-Farabi?
2. Bagaiman
deskripsi pemikiran filsafat Al-farabi?
3. Apa
hasil karya-karya Al-farabi?
C. Tujuan
1. Untuk
mendeskripsikan potret riwayat hidup Al-Farabi
2. Untuk
mendeskripsikan pemikiran filsafat Al-Farabi
3. Untuk
mengetahui hasil karya-karya Al-Farabi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Al-Farabi
Nama
asal Al-Farabi ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan Al-Uzdag. Beliau
dilahirkan di Wasij, yaitu di wilayah Transosiana, di negara Turkestan. Beliau
dikatakan lahir pada tahun 257 H bersamaan 870 Masihi, pada zaman pemerintahan
kerajaan samaniah. Al-Farabi dikatakan
berketurunan Turki, bapaknya berketurunan Persia dan ibunya berketurunan Turki. Pada zaman pemerintahan
kerajaan Samaniyah, bapaknya bekerja sebagai seorang pegawai tentera kerajaan sedangkan
perkerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas.
Al-Farabi
dikatakan mendapat pendidikan awal dari guru-guru persendirian, selama ada
beliau pergi belajar di rumah guru ataupun beliau belajar secara formal di
masjid-masjid yang terdapat di Wasij, seterusnya beliau dikatakan dibesarkan
semasa pemerintahan Nasir Ibnu Ahmad.
Al-Farabi
tidak seperti beberapa tokoh atau sarjana muslim yang lain,
ini karena beliau tidak menulis mengenai riwayat hidupnya sendiri berbanding
dengan tokoh yang lain yang membuat biografi tentang kehidupan mereka. Juga Al-Farabi
dikatakan memiliki atau mempunyai daya akal yang tinggi sejak dari kecil lagi,
ini karena dalam usia mudanya beliau telah belajar dan mampu belajar berbagai ilmu.
Al-Farabi juga dikatakan dapat menguasai beberapa bahasa asing, antaranya
bahasa Syria, Arab, Greek, dan beberapa bahasa lagi sebagaimana yang telah kita
ketahui bahawa Al-Farabi berasal dari wasij dan keluarga berketurunan Turki,
penguasaan ini tidak akan dicapai tanpa keinginan yang tinggi.
Al-Farabi
juga menguasai berbagai bidang dalam ilmu keagamaan, antaranya ilmu Nahu,
Tafsir, Hadis, Fiqh, dan sebagainya, selain itu beliau juga mahir dalam berbagai
cabang falsafah, ilmu lingkungan, ilmu militer dan ilmu musik, walaupun
Al-Farabi mahir dalam berbagai bidang tetapi beliau lebih tertarik ataupun
lebih memberikan perhatiannya pada bidang falsafah dan logika.
Al-Farabi
juga lebih dikenali sebagai guru kedua, beliau dikenali sebegitu selepas
Aristotle sebagai guru pertama, ini kerana beliau sentiasa mengkaji buku-buku
yang dihasilkan oleh Aristotle, mahupun mengkaji mengenai diri Aristotle.
Al-Farabi dikatakan mempunyai ramai guru-guru, tetapi yang utama ataupun yang
lebih diberikan perhatian dan masyhur ialah Ibn Hailan dan Matta ibn Yunus,
kedua-dua guru beliau ini mahir di dalam bidang logik dan falsafah.
Pada
tahun 287 Hijrah bersamaan 900 Masihi merupakan pengembaraan pertama Al-Farabi
ke negara luar yaitu Baghdad bersama gurunya yang tidak asing lagi ialah Ibnu
Hailan. Kedatangan Al-Farabi ke Baghdad bersama gurunya adalah untuk
mempelajari logik dan mendalaminya.Seterusnya pada tahun 298 Hijrah bersamaan
908 Masihi, beliau telah meninggalkan Baghdad bersama gurunya untuk ke Harran
seterusnya meneruskan perjalanan ke Konstentinople, beliau ke sana untuk
mempelajari falsafah dengan mendalam yang mana gurunya iaitu Ibnu Hailan
bertindak sebagai penyelia beliau dalam pembelajaran tersebut.
Pada
tahun 297 Hijrah bersaman 910 Masihi, beliau telah kembali lagi ke Baghdad.
Kembalinya beliau ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengkaji buku-buku
yang di tulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Pada tahun 330 Hijrah
bersama 942 Masihi, Al-Farabi telah berpindah ke Damsyik iaitu satu daerah di
negara Syria akibat kekacauan dan ketidakstabilan politik yang berlaku di
Baghdad.
Pada
tahun 332 Hijrah bersamaan 944 Masihi Al-Farabi dikatakan telah pergi ke Mesir,
tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan beliau di sana, tapi
menurut Abi Usaibiyah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, mengatakan
Al-Farabi telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir
iaitu sekitar tahun 337 Hijrah. Seterusnya pada tahun 338 Hijrah bersamaan 949
Masihi Al-Farabi telah kembali semula ke Damsyik, sekembalinya ke sana adalah
untuk menghabiskan sisa-sisa hidupnya sebagai seorang cendiakawan di sebuah istana di Aleppo semasa pemerintahan Syria
baru iaitu seorang putera Handaniyah bergelar Saf Al-Daulah, yang tertarik
dengan kebijaksanaan dan kepandaian beliau. Serta kehidupannya sebagai seorang
ahli sufi.
Pada
bulan Rajab 339 Hijrah bersamaan 950 Masihi, Al-Farabi telah meninggal dunia di
damsyik, semasa beliau berumur 80 tahun. Beliau telah dimakamkan di sana, yaitu
di sebuah perkuburan dibagian luar pintu selatan atau pintu sampingan kota
tersebut.
B. Pemikiran
Filsafat Al-Farabi
1. Pemaduan
Filsafat
Al-Farabi
berusaha memadukan beberapa aliran filsafat (al-falsafah at-tauqiyyah atau
wahdah al-falsfah) yang berkembang sebelumnya.terutama pemikiran plato,
aristoteles, dan plotinus juga antara agama dan falsafah. Karena itu, ia
dikenal filosof sinkretisme yag mempercayai kesatuan filsafat.[1]
Dalam ilmu logika dan fisika ia di pengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik ia di pengaruhi oleh plato. Sedangkan dalam persoalan
metafisika, ia dipengaruhi oleh plotinus.
Usaha
ke arah sinkretis pemikiran telah dimulai munculnya neo-platonisme. Namun,
usaha Al-Farabi lebih luas karena ia bukan saja mempertemukan ragam aliran
filsafat, juga penekanannya bahwa aliran-aliran filsafat itu pada hakikatnya
satu, meskipun pemunculannya berbeda corak ragamnya.
Usaha
mempertemukan dua filsafat yang berbeda pendapat seperti halnya antara Plato
dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengaku bahwa hakikat itu
adalah idea, karena apabila hal tersebut diterima berarti alam realitas ini
tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato
mengakui idea sebagai satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat
segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan
menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentanganpikiran antara keduanya. Menurut
Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat di lauar
alam ini. Jadi ke dua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada
dzat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga
kemungkinan:
a. Definisi
yang dibuat dalam filsafat tidak benar ;
b. Pendapat
orang banyak tentang pikiran-pikiran falsafi dari kedua filosuf tersebut
terlalu dangkal. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga
bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam-dasar-dasar falsafi;
c. Pengetahuan
tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar. Padahal definisi filsaft
menurut keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang
ada secara mutlak (al-ilm bi al-maujudat bima hiya maujudah)
Adapun
perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu
padakebenaran, dan kebenaran itu hanyalah satu, kendatipun dan cara memperoleh
kebenaran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan yang lainnya mencari
kebenaran. Tetapi kebenaran yang terdapat pada keduanya adalah serasi karena
bersumber dari akal aktif. Kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan akal
Mustafad, sedangkan Nabi melalui perantaraan wahyu. Kalaupun terdapat perbedaan
kebenaraan antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu
di pergunakan ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsaft yunani tidak
bertentangan secara hakikat dengan ajaran islam. Hal ini tidak berarti
Al-Farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
islam mutlak kebenarannya.
2. Metafisika
a. wujud
Adapun
masalah ketuhanan, Al-Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan
neo-platonisme yakni Al-Maujud Al-Awwal sebab pertama bagi segala yang
ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keEsaan dalam ajaran islam. Dalam
pembuktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud dan
mumkin al-wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan
dan tidak ada alternatif yang ketiga.[2]
Wajib
al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya esensi
dan wujudnya adalah sama satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan
tidak didahului oleh tiada, jika wujud ini tidak ada maka akan timbul
kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya karena tergantung kepadanya.
Inilah yang disebut dengan tuhan sedangkan mumkin al-wujud ialah sesuatu
yang sama antara yang berwujud dan tidaknya. Mumkin al-wujud tidak
mungkin berubah menjadi wujud aktual tanpa danya wujud yang menguatkan, dan
yang wujud itu bukanlah dirinya melainkan wajib al-wujud. walaupun
mungkin demikian mustahi terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum),
karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada wajib al-wujud.
b. Sifat
Tuhan
Tentang
sifat tuhan Al-Farabi sejalan dengan paham al-mu’tazilah, yakni sifat tuhan
tidak berbeda dengan substansi-Nya. Orang boleh saja menyebut asma’ul husna
sebanyak yang diketahuinya, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya
bagian-bagian pada zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari zat-Nya.[3]
Bagi
Al-Farabi, Tuhan adalah aqal murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi obyek
pemikiran-Nya hanya substansi-Nya saja. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain
untuk memikirkan substansi-Nya. Jadi tuhan adalah aql aqil dan ma’qul
(akal, substansi yang berfikir, dan substansi yang dipikirkan). Demikian itu
Tuhan Maha Tahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu di luar zat-Nya. Untuk tahu dan
juga memberitahukan untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi,
Tuhan adalah ilmu substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui. (‘ilm
‘alim, dan Ma’lum).[4]
Karena tuhan
agung dan sempurna, maka ia mencintai dan merindukan zatnya sendiri. Dengan
demikian, maka tuhan itu adalah zat yang merindukan pula(as asyiq dan al ma’syuk)
Dari uraian
di atas nampaklah bahawa Al-Farabi berusaha keras dalam menunjukkan keesaan
tuhan dan ketunggalannya dan bahawa sifat-sifatnya tidak lain adalah zatnya
sendiri
c. Ilmu
Ketuhanan
Tentang
ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam pemikiran ini dikembangkan
oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyah
(particular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan yang rinci tidak sama dengan
pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘Aql hanya dapat menangkap yang kulli
(Universal). Sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan
panca indera. Karena itu pengetahuan-Nya tentang yang juz’i tidak secara
langsung, melainkan ia sebagai sebab bagi yang juz’i.
d. Emanasi
Tentang
penciptaan alam, al-Farabi menggunakan teori Neo-Platonisme-monistik tentang emanasi.
Filsafat yunani seperti halnya Aristoteles, menganggap bahwa Tuhan bukanlah
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (prima causa). Sedangkan
dalam dokrin muttakaliamin Tuhan adalah Pencipta (Shant ;Agent) yang
menciptakan dari tiada menjadi ada (iijad minal ‘adam-cretio ex nihilio). Bagi
Al-farabi Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran.
Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi alam dengan energi yang qadim.
Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karena itu, menurut
filosuf kun Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan Tuhan kepada Syai’i
bukan kepada la syai’i.
Dalam
alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah
kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.Tuhan sebagai
akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud
lain. Tuhan merupakan wujud pertama(الوجودالأوُل)
dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى)
yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua
ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud
ketiga (الوجودالثالث)disebut Akal kedua,
Second Intellegence (العقل الثانى). Wujud Kedua atau
Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit
Pertama (السماءالأولى) , First Heaven.
Wujud
Ketiga/Akal Kedua
-Tuhan
= Wujud Keempat/Akal Ketiga
-Dirinya
= الكواكبالثابتة (bintang-bintang)
Wujud Keempat/Akal
Ketiga
-Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
-Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
-Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
-Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
-Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
-Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
-Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
-Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
-Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
-Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
-Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
-Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
-Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
-Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
-Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
-Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
Pada
pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.[5]
Tujuan
Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena
tidak mungkin yang Esa berhubungan dengan yang tidak Esa atau banyak. Andaikata
alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang
tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi, dari Tuhan yang maha esa
hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan
yang banyak.
3. Jiwa
Adapun
tentang jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan
Plotinus, jiwa bersifat rohani, buka materi, terwujud setelah adanya badan dan
jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain.
Jiwa
manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh.
Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya,
yaitu :
a. Gerak
(المحركة, motion)
·
Makan (الغاذية,
nutrition)
·
Memelihara (المربية,
preservation)
·
Berkembang (المولدة,
reproduction)
b. Mengetahui
(المدركة, cognition)
·
Merasa (الحاسة
, sensation)
·
Imajinasi (المتخيلة
, imagination)
c. Berpikir
( , intelection)
·
Akal praktis (العقل
العملي , practical intellect)
·
Akal teoritis (العقل
النظري , theoritical intllect)
4. Politik
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang
merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[6]
Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang
panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara
atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban
masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.
Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan
unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala
prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal,
prinsip, ideologi, dan konsep dasar.
Keberadaan warga negara sangat
penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut
Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga
negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu
seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.
Negara Utama dianalogikan seperti
tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ
dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi
utama:
a.
Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena
jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
b.
Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain
bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di
bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan
organ-organ reproduksi.
c.
Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas
mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Dengan prinsip yang sama, seorang
pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna
didalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang
disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan
fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi
pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk
ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah
cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.
Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah
terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil
bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan
tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[7]
5.
Moral
Konsep moral
Al-Farabi menjadi hal terpenting dalam karya-karyanya, berkaitan erat denganpembicaraan
tentang jiwa dan politik. Dalam buku Risalah Fi At-Tanbih ‘ala subul al-sa’adah
dan Tahsil al-Sa’adah, Al-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus
menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi
bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni:
a.
Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan
yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalanya, juga di peroleh
dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar dan mengajar.
b.
Keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang
mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk kemampuan membuat
aturan-aturan.
c.
Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaiakan. Jenis
keutamaan ini berada di bawah menjadi syarat keutamaan pemikiran.
d.
Keutamaan amaliah, diperoleh dua cara, yaitu
pertanyaan-pertanyaan yang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah pemaksaan.
Selain
keutamaan di atas, Al-Farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang
dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu
dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan
hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi
semua syarat tersebut. Berani misalnya, adalah sifat terpuji yang terletak di
antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan
(al-karam) terletak di antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir).
Memelihara kehormatan diri (iffah) terletak antara dua sifat tercela,
keberandalan (khala’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
6.
Kenabian
Selain
filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat
politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai
filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi
berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat
berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat).
Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui
perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para
filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Mustafad, yaitu akal
yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang
ada diluar diri manusia.
Dalam
perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun
satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu,
misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa
tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan
bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia
dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.[8]
Aristoteles
berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap
bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera
bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan
terjadinya fantasi dan mimpi. tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal
dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi
melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan
mengklaim bisa meramalkan masa depan.[9]
Pendapat Al
Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui
imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya
bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan
inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk
menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan
intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan
imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti
bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan
dari atas.[10]
Selain
wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang
suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat
rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian,
sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu
penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh
pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw
juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari
46 bagian kenabian.[11]
Persoalaan
kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan
pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah,
maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana
dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada
waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau
wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai
tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar
tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu
dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat
menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi
menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu
berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena
psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan
ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai
bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi
dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi
rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan,
serta mengilustrasikan dan membentuk. Imajinasi mempunyai kemampuan
besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh,
psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh
yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara
yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali karena perbedaan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka
sekejab hubungan kita dengan air itu basah.]
Hubungan ini
juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi,
karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi.
Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan
erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam
tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia
menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal
yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat
menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan
penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk
impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya
terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu
aspek kenabian.[12]
Kenabian
juga bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah).
Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi
menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam
atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah
sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya
tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual
C. Karya-Karya
Al-Farabi
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang
ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian
khusus pada ilmu kedokteran.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan
dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan
mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah
bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun juga memberi
ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy
dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk
mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu
fisika, ilmu jiwa,, metafisika, kimia, ilmu politik, musik dll. Tapi kebanyakan
karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran.
Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1. Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al
Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5. Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah
(pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Ma’ani Al Aqli
8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan
ilmu/statistik ilmu)
9. At Tangibu ala As Sa’adah
10. Ishbatu Al Mufaraqaat
11. Al Ta’liqat
12. Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari
buku Metafisika)
13. ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar
oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas
delapan bagian yaitu :
1.
Al
Maqulaati Al Asyr (kategori)
2.
Al
Ibarat (ibarat)
3.
Al
Qiyas (analogi)
4.
Al
Burhan (argumentasi)
5.
Al
Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6.
Al
Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7.
Al
Hithobah (ilmu pidato)
8.
Al
Syi’ir (Puisi)
[1] Ibrahim madkour, “Al-Farabi”,
dalam M.M. Sharif, (ed), A History of muslim philosofy, Vol. I (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1963), hlm. 456.
[2] T.J. De Boer, Tarikh al-falsafah
fi al-islam, terjemah arab oleh Abd Al-Hadi Abu Raidah (Kairo: Lajnah At-talif wa
al-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1938 ), hlm 139
[3] De Boer
, 140
[4] Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah
Al-Fadilah ( maktabah mathba’ah Muhammad Ali, tt) hlm. 8-9.
[5] Hasymsyah Nasution, filsafat
islam , 2005 .hlm 38
[6] ]Eduarny Tarmiji, Konsep Al-Farabi
tentang Negara Utama, Thesis Magister, (Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 2008), hal. 13.
[8]
Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G.
Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[9]
Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G.
Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[10] M. M.
Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 77.
[11] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hal. 137.
[12] ]MM Syarif, Op.Cit., hal. 75.
Posting Komentar