BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh
al-Mutawakkil (232-247 H), cara pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam
mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta
ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan
tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam. Para filusuf dituduh sebagai
penganut bid’ah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang jumud dan
fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda ta’wil yang telah jauh dari
syari’at Islam itu sendiri.
Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin
menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang
ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang
didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari
kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan nama
Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar
pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk
menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang
dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar
Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu
sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia
yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih
suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa,
kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal
untuk dicari hikmah dan pelajaran.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya Ikhwan Al Shafa?
2. Bagaimana Filsafatnya Ikhwan Al Shafa?
3. Bagaimana
Metafisika Ikhwan Al-Shafa ?
4. Bagaimana Doktrin Moral Ikhwan Al-shafa ?
C. Tujuan penyusunan makalah
1. Mengetahui sejarah lahirnya Ikhwan Al Shafa
2. Mengetahui Filsafatnya Ikhwan Al Shafa
3. Mengetahui Metafisika Ikhwan Al-Shafa
4. Mengetahui Doktrin Moral Al-Shafa
5. Menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Filsafat
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang Ikhwan Al-Shafa
Secara harfiyah, Ikhwan al-Shafa dapat diartikan sebagai persaudaraan
suci. Ikhwan diambil dari akar kata al-akh (saudara) yang membentuk
makna jamak, dan dapat digunakan sebagai kata benda abstrak atau masdar.
Al-Shafa sendiri kesucian jika dinisbatkan pada kata sifat Shaafin
(yang suci, yang jernih). Terminologo Ikhwan al-Shafa digunakan untuk
menunjukan kepada sekelompok pemikir filsafat dari kalangan umat Islam berpaham
Syi’ah Isma’iliyah pada abad ke-4 H / 10 M. Riwayat lain menyebutkan bahwa
Ikhwan al-shafa bukan bagian dari Syiah isma’iliyah, tetapi dianggap sebagai
bagian dari mereka dan mendapat di hati para pembesar Syi’ah Isma’iliyah.
Ikhwan al-Shafa beroperasi di bawah langit Basrah secara sembunyi-sembunyi
dikarenakan situasi politik dan iklim keagamaan yang sedang tidak memihak
pemikiran filosofis.
Ikhwan Al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir islam
yang bergerak secara rahasia dari sekte syi’ah isma’iliyah yang lahir pada abad
ke 4 H (10 M) di basrah. Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan dirinya
khulan al-wafa’, ahl al-adl, dan abna’ al-hamd boleh jadi karena tendensi
politik, dan baru terungkap setelah berkuasanya dinasti buaihi di bagdad pada
tahun 983 M. Ada kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham
takiyah, karena basis kegiatannya berada ditengah masyarakat mayoritas sunni.
Boleh jadi juga kerahasiaan ini karena mereka mendukung pemikiran mu’tazilah
yang telah dihapus oleh khalifah abbasiyah al-mutawakkil, sebagai mazhab
negara.
Keberadaan Ikhwan al-Shafa menarik perhatian para
sejarawan pemikiran karena asal-usul identitas anggota kelompoknya seakan
misterius karena pemikiran Ikhwan al-Shafa merangsang rasa penasaran yang
tinggi. Untuk mengetahui corak pemikiran Ikhwan al-Shafa, sebagian kalangan
mencoba untuk membaca gagasan mereka melalui penelaahan latar belakang
kemunculan dan kondisi objek kultur zaman yang mereka singgahi. Pemikiran
Ikhwan al-Shafa, terlepas dari ketidakpastian ihwal orang-perorang, dianggap
sebagai pemikiran yang membawa warna platonis sekaligus Aristotelian.
Menurut hana al-fahuri, nama ikhwan as-safa
diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kalillah wa dumna’ yang
diterjemahkan oleh ibn mugaffa’. Nama ikhwan al-Shafa diambil dari sebuah
kelompok yang mengolah saint dan filsafat, bukan untuk kepentingan saint dan
filsafat, tetapi untuk sebuah bentuk dari pada komunitas etnik spiritual, yang
hidup ditengah–tengah masyarakat muslim yang sangat heterogen, perebutan
kekuasan diantara jama’ah dalam satu komunitas, dan sekte mereka. Asas
berdirinya organisasi ini sesuai dengan namanya ikhwan as-shafa’, persaudaraan
yang dibangun atas persaudaraan yang tulus dan ikhlas, kesetiakawanan yang suci
murni serta saling menasehati antar sesama anggota organisasi dalam menuju
ridho ilahi. Oleh sebab itulah dalam risalah yang mereka kumpulkan para penulis
selalu memulai nasehatnya dengan kalimat “ya
ayyuhal akh’ (hai saudara!) Atau ya
ayyuhal akh al-fadhil (wahai saudara yang budiman) suatu tanda kesetiakawanan
antara sesama anggota.
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah upaya
menyerupai Tuhan (at-tasyabuh billah) sejauh kemampuan manusia. Untuk
mencapai tujuan itu, manusia haruslah berijtihad (berupaya sunguh-sungguh)
menjauhkan diri mereka: dari berkata bohong dan meyakini kaidah bathil, dari
pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta dari berbuat jahat dan
melakukan pekerjaan secara tak sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai
upaya menyerupai Tuhan karena Tuhan tidaklah mengatakan kecuali yang benar dan
tidak melakukan kecuali kebaikan. Dalam penilaian mereka, syari’at (agama)
telah dikotori oleh kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya, dan
menurut mereka tidak ada jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat,
karena filsafat mengandung hikmat dan kemaslahatan; bila ditata, filsafat
yunani dengan agama islam niscaya dihasilkan kesempurnaan. Pusat organisasi
juga menurunkan instruksi agar anggota-anggota yang berada didaerah mengadakan
pertemuan berkala dalam jadwal tertentu guna mendiskusikan ilmu pengetahuan dan
kepentingan anggota. Di dalam risalah mereka juz ke IV halaman 105 tertulis,
sepantasnya bagi saudara-saudara kita, yang semoga mereka dikuatkan Allah
dimana saja mereka berada, agar mengadakan majelis khusus yang tidak boleh
dihadiri oleh selain anggota dalam waktu yang dijadwalkan untuk mendiskusikan
ilmu pengetahuan dan membicarakan rahasia-rahasia ikhwan.
Selain aktif menyelenggarakan diskusi-diskusi dan
penulisan, kelompok Ikhwan al-shafa juga rajin mengutus delegasi-delegasi untuk
menyebarluaskan pemikirannya dan mengajak orang-orang yang berminat pada
pengetahuan dan kebenaran untuk bergabung ke dalam barisan mereka. Target
operasi kelompok ini adalah intelektual-intelektual yang masih segar dan penuh
semangat. Akan tetapi meskipun ada upaya penyebaran pemikiran awam, kelompok
ini tetap menjaga kerahasiaan dan berhasil menanamkan sikap militan kepada tiap
anggota kelompok. Bagi siapapun yang berminat bergabung dengan Ikhwan al-Shafa,
diajarkan untuk berpegang teguh dan dan selalu saling membantu satu sama lain
dalam menghadapi segala macam kesulitan, rintangan dan marabahaya apapun. Baik
dalam urusan duniawi, maupun dalam persoalan-persoalan rohani. Tiap anggota
ditekankan untuk terus saling membantu dan terus saling menopang demi rekatnya
tali persaudaraan.[1]
Kelompok ikhwan al-Shafa digolongkan dalam empat
tingkatan yang mempunyai kriteria tertentu;
1.
Tingkatan pertama; kelompok anggota yang terdiri dari
pemuda cerdas berusia 15-30 tahun. Selain cerdas, anggota tingkatan pertama ini
juga cekatan dan memiliki semangat berpengetahuan yang tinggi. Tiap anggota
diwajibkan untuk patuh dan tunduk kepada guru-guru.
2.
Tingkatan kedua; kelompok pemuda yang berusia antara
30-40 tahun. Tingkatan kedua ini dinamakan dengan Ikhwan al-Akhyar. Tiap
anggota dalam tingkatan kedua ini diharapkan sudah mampu memelihara arti
persaudaraan, bersikap pemurah, penuh kasih sayang dan dinilai telah siap untuk
mengorbankan apapun demi persaudaraan.
3.
Tingkatan ketiga; kelompok pemikir yang berusia antara
40-50 tahun yang disebut sebagai Ikhwan al-Fudhala al-Kiram. Tingkatan
ketiga ini dianggap sebagai anggota kelompok dewasa. Keseluruhan anggota dalam
tingkatan ini sudah sampai pengetahuan namus Ilahi yang merupakan
tingkat pengetahuan para Nabi.
4.
Tingkatan keempat; tingkatan tertinggi dalam kelompok
Ikhwan al-Shafa yang beranggotakan pemikir berusia 50 tahun. Tiap anggota dalam
tingkatan ini sudah mampu memahami hakikat segala sesuatu dan bisa disejajarkan
tingkat pengetahuannya dengan al-Muqarrabun sehingga mereka berada
diatas alam realitas dan melampaui syari’at dan wahyu.
B. Karya-karya Ikhwan Al-Shafa
Pertemuan yang dilakukan
sekali dalam 12 hari dirumah zaid ibn rifa’ah (ketua) secara sembunyi-sembunyi
tanpa menimbulkan kecurigaan, telah melahirkan 52 risalah, yang dimulai dengan
kajian tentang matematik, ilmu logika, ilmu fisika dan terakhir membahas
tentang tasawuf. jumlah rasail tersebut adalah 50 risalah dengan satu ringkasan
dan satu lagi ringkasan dari ringkasan, kemudian mereka menamakan karya
tersebut dengan rasail ikhwan as-safa’/ Ar-risalah al-jami’ah, karena
risalah ini mencakup secara keseluruhan risalah-risalah yang mereka telah tulis
dengan memasukkan pokok-pokoknya saja tanpa merinci kandungan ilmu seperti yang
terdapat pada aslinya. Tujuan utamanya ialah agar para pembaca yang telah
membaca ar-risalah al-jami’ah ini, seolah-olah telah membaca keseluruhan
risalah ini. rasail ini merupakan ensiklopedi populer tentang ilmu dan filsafat
yang ada pada waktu itu. Dilihat dari isi, rasail tersebut dapat
diklasifikasikan kepada empat bidang yaitu:
a. 14 risalah tentang matematika, yang mencakup
geometri, astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral dan logika.
b. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi
geonologi, minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya
alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c. 10 risalah tentang ilmu-ilmu jiwa, meliputi
metafisika mazhab pytagoreanisme dan kebangkitan alam.
d. 11 risalah
tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam
dengan Tuhan, keyakinan ikhwanu al-safa’ kenabian, dan keadaannya, tindakan
rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic, dan jimat.[2]
Ensiklopedi yang kaya ini
diibaratkan seperti sebuah kebun mewah yang dimiliki oleh seorang bijak yang
pemurah. Orang bijak pemilik kebun mewah ini selalu meminta siapapun , bahkan
meminta orang yang lewat, untuk singgah dan menikmati buah-buahan yang tumbuh
di kebunnya. Sayang sekali, hanya sedikit jumlah orang yang mengambil
keuntungan dari kebun subur dan keramahan pemiliknya ini hanya karena keraguan
dan kebodohan belaka. Sesekali, jika ada orang yang ragu dan urung melangkah ke
dalam kebun, si pemilik kebun bersedia memperlihatkan contoh buah-buahan yang
ada di kebun itu sehingga orang mau singgah dan menikmati seisi kebun.
C. Filsafat Ikhwan Al-Shafa
1. Talfiq
Ikhwan al-safa’ berusaha
memadukan atau rekonsiliasi (talfiq)
agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat
dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan
dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya adalah
filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat
yunani dan syari’at arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan. Tampaknya ikhwan
as-safa’ menempatkan filsafat diatas agama. Mereka mengharuskan filsafat
menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung
dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-qu’ran
yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang
arab badui yang berkebudayaan dan bersahaja. Sedangkan yang memiliki
pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai ta’wil untuk melepaskan
diri dari pengertian lafzi dan indrawi. Untuk itulah ikhwan as-safa’ berusaha
dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika dan
ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau secara
aktif dan praktis.
Sebenarnya pendapat mereka
untuk mempergunakan ta’wil dalam memahami ayat-ayat mutasabihat merupakan
pendapat yang sama dikalangan para filusuf. Menurut filusuf, agama adalah
tempat melambangkan secara inderawi, agar mudah dipahami oleh kaum awam yang
merupakan bagian terbesar umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak
ajaran agama yang mereka tolak karena mereka tidak memahami isinya. Sebaliknya,
kaum filusuf harus mengambil makna metaforis terhadap teks al-qur’an yang
bernada antromorfosisme. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka
tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti ini para filusuf menempatkan Nabi sebagai pendusta untuk
kepentingan manusia.
Disamping itu ikhwan
as-safa’ juga memadukan antara agama-agama yang berkembang pada waktu itu
dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi dan
lain-lain. Menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, sedangkan perbedaan-perbedaan keagamaan bersumber dari
faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat tinggal, atau keadaan zaman
dan dalam beberapa kasus juga faktor temperamen dan susunan personal. Karena
itu agama gabungan yang mereka maksud akan menjadi pegangan dalam negara yang
mereka impikan, dan hal ini merupakan tujuan utama mereka yang kedua untuk
menggantikan daulah abbasiyah yang berada pada kerusakan yang harus diganti
dengan negara baru. Demikian juga penduduknya yang telah menjadi jelek. Negara
baru yang mereka idamkan bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan
jiwa yang satu dalam segala pengaturan, sedangkan penduduknya adalah ahl al-khair
(baik) yang terdiri dari kaum ulama’, filusuf dan orang –orang pilihan, dimana
mereka semua sepakat terhadap pendapat yang satu, mazhab yang satu dan agama
yang satu pula.
Usaha talfiq
pemikiran-pemikiran Persia, Yunani, India dan semua agama, serta menetapkan
nabi-nabinya, Nuh, Ibrahim, Socrates, Plato, Zoroaster, Isa, Muhammad, dan Ali,
adalah keinginan ideal yang tidak pernah ada dalam realitas. Karena bagaimana
mungkin menyatukan sifat manusia yang heterogen secara utuh dan penuh
kesadaran, kalaupun hal ini mungkin diwujudkan,tentu menghendaki pemaksaan, dan
tidak akan bertambah lama.
2. Jiwa
Tentang jiwa manusia
bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak
dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa
dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut
akan tertulis dengan adanya tanggapan imajinasi (al-quwwah al-mutakayyilah), dari
sini meningkat kepada daya berfikir (al-quwwah mutafakkirah) yang terdapat pada
otak bagian tengah, pada tingkat ini manusia mampu membedakan antara benar dan
salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disuruhlah ke daya ingat (al-quwwah
al-hafizhah) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini
seseorang telah mampu menyimpulkan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya
berfikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah)
yaitu kemampuan pengungkapan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang
bermakna kepada pendengar atau menuangkan lewat bahasa tulisan kepada pembaca.
Manusia memiliki 5 kekuatan jiwa sebagaimana ia mempunyai 5 kekuatan raga,
yaitu:
a. Daya imajinasi (al quwwa
al-mukhayyalat) letaknya dibagian muka.
b. Daya fikir, letaknya ditengah-tengah otak.
c. Daya simpan, letaknya dibagian belakang otak
d. Daya ingat
e. Daya tutur
Kelima daya inilah yang melakukan aktivitasnya didalam
raga manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3. Moral
Adapun tentang moral, ikhwan
al-safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung
bebas. Dalam mencapai moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari
ketergantungan kepada materi. Harus memupuki rasa cinta untuk bisa sampai
kepada ekstase (khusyu), Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat atau
sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang,
keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebijakan, gemar berkorban untuk orang
lain, kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar,
kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikritis habis sehingga
timbul kesucian perasaan, kecintaan yang membara sesama manusia, dan kemarahan
terhadap alam, binatang liar sekalipun.
D. Metafisika Ikhwan Al-shafa
Keyakinan
kalangan Ikhwal al-Shafa pada prinsip bilangan, masih juga digunakan dalam
pembicaraan Metafisika. Menurut para pemikir kelompok ini, bilangan merupakan
“lisan” yang menuturkan persoalan ketuhanan. Dalam tema ketuhanan, konsentrasi
pembicaraan diarahkan pada persoalan al-Tanzih, upaya peniadaan
sifat-sifat Tuhan dan penolakan tasybih bagi dzat Tuhan yang ditengarai
berpotensi untuk mengotori ke-Esaan Tuhan. Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa
pengetahuan akan bilangan akan membawa pemiliknya menuju pengakuan atas
ke-Esaan Tuhan. Ke-Esaan Tuhan disimbolkan dengan eksistensi angka satu (1),
jika angka ini dirusak, maka rusaklah keseluruhan realitas. Angka satu adalah
awal yang mendahului angka-angka lain. Dengan pertimbangan ini, Ikhwan al-Shafa
percaya bahwa Tuhan-lah yang mendahului wujud-wujud lain. Kalangan pemikir
Ikhwan al-Shafa menekankan persoalan al-Tanzih dan menolak prinsip tasybih
bagi Tuhan. Tidak ada perumpamaan apapun yang dapat digunakan untuk Tuhan.
Dalam kasus penciptaan semesta, kalangan Ikhwan al-Shafa
menerima ajaran Neo Platonisme yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan semesta
melalui proses Emanasi (faidh). Keterciptaan bentuk muncul saat proses
Emanasi tanpa melewati dimensi ruang dan waktu. Emanasi diselenggarakan Tuhan
dengan menggunakan kata “kun-fayakun” dalam satu hentak kejadian. Pada
dasarnya bukan hanya paham Neo Platonisme yang mempengaruhi pandangan Ikhwan
al-Shafa dalam kasus penciptaan semesta raya, Aristoteles dan pemikiran mutakkilimin
masa itu, ternyata juga memberi warna bagi pandangan Ikhwan al-Shafa.
Para pemikir Ikhwan Al-Shafa menyakini bahwa Tuhan adalah
pencipta yang menunggal bilangannya. Dengan kehendaknya terciptalah akal
pertama yang merupakan akal aktif (al-‘aql al-fa’al). Karena Tuhan
adalah qadim dan baqa, maka akal aktif juga terkena imbas qodim
dan baqa. Akal yang pertama ini sudah dilengkapi dengan dengan ragam
potensialitas yang kemudian nanti diaktualisasikan dalam tahap-tahap Emanasi
lanjutan. Secara tidak langsung, Tuhan akan terus berhubungan dengan materi
sampai kemurnian Esa-Nya terpelihara sebaik-baiknya. Rangkaian proses Emanasi
menurut Ikhwan al-Shafa meliputi;
1. Akal
pertama atau akal aktif (al-‘aql al-fa’al)
2. Jiwa
universal (al-nafs al-kulliyah)
3. Materi
pertama (al-hayulan al-ula)
4. Potensi
jiwa universal (al-thabiah al-faidah)
5. Materi
absolut atau materi kedua (al-jism al-muthlaq)
6. Alam
planet-planet (alam al-falaq)
7. Unsur-unsur
alam terendah (‘anashir al-‘alam al-sufla) yang meliputi; air, udara, tanah dan api.
8. Materi
gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuhan dan hewan.
Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, kedelapan wujud
tersebut adalah mahiyah yang dengan bantuan dzat Tuhan menyempurnakan bilangan
menjadi sembilan (1 Tuhan + 8 Mahiyah limpahan = 9 kesempurnaan). Bilangan
sembilan ini membentuk substansi organik pada tumbuh manusia yang meliputi;
tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku.
Proses penciptaan melalui rangkaian Emanasi, menurut
Ikhwan al-Shafa, terbagi dalam dua bagian, yakni;
1. Penciptaan
sekaligus, terjadi dalam dimensi keruhaniaan dan terdiri dari penciptaan akal
aktif, jiwa universal dan materi pertama.
2. Penciptaan
secara gradual, terjadi dalam dimensi fisik material dan terdiri dari
penciptaan dari jism mutlaq (materi kedua) dan seterusnya.
Prestasi gemilang pemikiran Emanasi Ikhwan as-Shafa
terpusat pada pembicaraan tingkat Emanasi ke delapan. Sebagian kalangan menilai
bahwa Ikhwan as-Shafa telah mendahului Charles Darwin (1809 – 1882) dalam
menjelaskan kehidupan alam secara evolutif. Melalui berbagai penelitian, para
pemikir Ikhwan as-Shafa menyimpulkan bahwa alam mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan
dan manusia merupakan satu rangkain yang tersambung. Dalam hal ini, disebutkan
bahwa objek-objek material tersusun dari empat unsur yang dipandu dan
dipelantarai oleh empat kualitas pertama. Jika seandainya keempat unsur
disederhanakan lagi, maka yang tersisa adalah dua substansi azali; asap (api
dan udara) dan lumpur (air dan tanah).
Gambaran yang diajukan Ikhwan as-Shafa adalah
sebagai berikut; disaat Matahari dan planet-planet menyebabkan air berubah
menjadi uap (atau kabut) yang selanjutnya mengalami perubahan warna dan disebut
awan.an kemudian berubah menjadi hujan, dan hujan yang turun menimpa tanah akan
menghasilkan lumpur. Lumpur membentuk substratum mineral, tumbuh-tumbuhan dan
hewan-hewan. Dari gambaran ini ditemukan fakta bahwa penciptaan material
terendah adalah penciptaan mineral dan yang tertinggi adalah penciptaan manusia
pasca tumbuhan dan hewan. Bahkan penciptaan material manusia merupakan ambang
antara yang memisahkan dunia alam dan malaikat yang imaterial. Rangkaian
kejadian diatas mengandaikan bahwa kemunculan tumbuhan mendahului hewan.
Berdasarkan semua analogi dan penyejajarana manusia
dengan semesta, para pemikir Ikhwan as-Shafa meyakini bahwa pengetahuan tentang
bidang juga berhubungan dengan realitas bola-bola langit. Tidak bisa tidak,
peredaran bola-bola lngit membawa pengaruh pada kehidupan manusia; terhadap
tumbuh material dan jiwa spiritual manusia. Tiap planet memiliki sifat tugas
yang berlainan. Jupiter, Venus, Merkerius membawa kebahagian. Saturnus, Mars,
dan Bulan membawa kesengsaraan. Sedangkan Matahari memadukan kesenangan dan
kesusahan. Meskipun begitu, Matahari-lah yang mengenalkan pada manusia tentang
pengetahuan baik dan buruk. Tentang tugas tiap planet, bulan dipandang sebagai
bola langit yang bertugas membuat tumbuh manusia tumbuh dan berkembang. Merkurius
bertugas mencerdaskan akal manusia. Matahari bertugas membawakan nikmat bagi
manusia berupa keturunan, kekuasaan dan harta benda. Mars bertugas membawakan
sifat keberanian, keperkasaan, dan kemulian bagi manusia, dan Jupiter bertugas
membimbing manusia dalam perjalanan ke akhirat.
Dalam persoalan jiwa yang juga merupakan bagian
kajian Metafisika, para pemikir Ikhwan as-Shafa berkeyakinan bahwa jiwa manusia
berasal dari jiwa universal. Dalam perkembangannya, jiwa manusia erat terikat
dengan perangkap raga material yang mengitarinya.
Mengingat beratnya tantangan yang dihadapi jiwa,
manusia diberi akal sebagai penimbang tindakan. Ikhwan as-Shafa, seperti juga
Empirisme berat modern, memandang jiwa laksana lembar putih yang kosong. Lembar
ini akan dotulis oleh tanggapan indera yang kemudian disalurkan ke otak bagian
depan, lewat daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyinah). Daya ini
perlahan berkembang menjadi daya pikir manusia (al-quwwah al-mufakkirah)
yang menempati otak bagian tengah. Pada tingkat ini, manusia mampu membedakan
antara benar – salah dengan baik – buruk. Selanjutnya, daya jiwa berkembang
menjadi daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah) yang melewati jalan abstraksi
mental dan menempati otak bagian belakang.
E.
Doktrin Moral Ikhwan al-Shafa
Persoalan
moralitas dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, terkait dengan perkembangan jiwa
yang dipaparkan melalui jalan rasionalitas. Bagi para pemikir Ikhwan as-Shafa,
tindakan moral tidak akan terlaksana jika tidak didahului oleh ihwal kebebasan
dalam pilihan tindakan. Dan karena selalu berhubungan dengan jiwa, maka
tindakan moral itu mengandalkan adanya keterlepasan jiwa dari ketergantungannya
pada tuntutan-tuntutan material. Pencapaian moral yang digariskan oleh Ikhwan
as-Shafa adalah rasa cinta yang mengantarkan manusia ke ranah ekstase.
Kepercayaan atas segala hal, harus dibarengi dengan tindakan nyata agar tidak
menjadi sia-sia. Sama persis dengan pengetahuan yang mesti ditindak lanjuti
dengan perbuatan. Doktrin moral yang ditekankan dalam kelompok ini adalah
penanaman kesabaran, ketabahan, kelembutan hati, kehalusan pekerti dan kasih
sayang antar sesama. Bersamaan dengan penanaman sifat-sifat terpuji tersebut,
Ikhwan as-Shafa berupaya untuk menjauhkan manusia dari penggunaan bahasa yang
kasar, kemunafikan, kezaliman, penipuan, dan kepalsuan yang mengotori
persaudaraan.
Moralitas
diperuntukan sebagai pelatihan bagi jiwa agar tetap bersih dan terjaga dari
kotoran-kotoran material. Jiwa yang bersih dinilai mampu menangkap
kilatan-kilatan cahaya Ilahi dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin bersih
jiwa, makin dekat manusia pada pemahaman atas makna-makna yang dikandung kitab
suci. Pemahaman atas makna-makna tersebut, pada akhirnya benar-benar membantui
manusia untuk mengakui persamaan dan keselarasan antara agama dan tindakan
rasional dalam filsafat. Sekali lagi, jika jiwa terpengaruhi oleh permintaan
ragawi material, semakin sulit menemukan jalan menuju pengetahuan.
Ikhwan
as-Shafa menyatakan bahwa pengetahuan apapun yang ditangkap manusia tidak lebih
berguna ketimbang pengetahuan diri. Pengetahuan akan diri merupakan pengetahuan
utama dalam hubungannya dengan prinsip moralitas.renungan manusia akan diri
sendiri berimbas pada ketersingkapan segala hal dan pengetahuan segala hal.
Pada titik ini, manusia kan menyadari posisinya sebagai penengah antara dua
kutub ekstrim; pengisi tempat sempit (mikro kosmos) dan penguasa wilayah tanpa
batas (makro kosmos). Dengan kesadaran yang sama, manusia juga menyadari bahwa
durasi waktu di dunia tidak terlalu lama dan tidak juga terlalu singkat.
Doktrin Moralitas kalangan Ikhwan as-Shafa, menjaga keutuhan, harmoni dan arti
keseimbangan. Meskipun begitu, Ikhwan as-Shafa pun mengakui bahwa pengetahuan
akan Tuhan, dalam disiplin Moral, mengandaiakan ketidak mungkinan manusia untuk
mengetahui keseluruhan tentang-Nya. Imbas dari pengakuan ini, Ikhwan as-shafa
menerima dengan ikhlas fungsi kenabian dalam kehidupan manusia. Dengan kata
lain, Ikhwan as-Shafa menyeru manusia untuk tunduk kepada risalah kenabian,
mengikuti ajaran-ajaran Nabi karena Nani adalah “lisan”Tuhan dalam kehidupan. [3]
BAB III
SIMPULAN
1. Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia
yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah
ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh
jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat
Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris.
2. Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep
bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari
seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang
dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam
istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.” Aktivitas pendidikan
ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang
dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak
inilah aktivitas pendidikan sudah dimulai.
3. Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan
berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap
kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa
dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak
bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh
dari 1)
a. kitab
suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an;
b.
kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti
matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat;
c. alam;
d.
perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
4. Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah
untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang
suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Daftar Pustaka
1. Hasyim Syah Nasution, filsafat islam, (Jakarta: gaya media
pertama 2002), cet. ke-3.
2. Adenan, Filsafat Islam Klasik, Renaisance dan
Modern, (Medan: Duta Azhar 2007)
3. H. A. Mustafa, Filsafat
islam, (Bandung: pustaka setia 2004), cet. ke-1
4. Ismail asy-syarafa, ensklopedi
filsafat,(Jakarta:
penerbit Khalifa 2005), cet. ke-1
6. http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/
Posting Komentar