PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam
muncul sebagai sistem peradaban yang mandiri, maka hal itu merupakan realitas
sejarah yang tentu saja bukan untuk arah utama Islam sebagai agama yang hadir.
Dalam arti, Allah mengutus Muhammad membawa Islam tentulah “tidak direncanakan”
untuk muncul sebagai sebuah peradaban. Islam muncul sebagai sebuah agama dengan
membawa aneka sistem keagamaan. Oleh karenanya, harus dipahami perbedaan Islam
sebagai agama dengan Islam sebagai peradaban.
Peradaban
Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam.
Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran
yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat
Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam
adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi
dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional
umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam
Islam.
Filsafat
Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan
sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dimulai dari al-Kindi sebagai
filosof Islam pertama kali, kemudian disusul oleh para filosof yang lainnya. Karena
merupakan filosof yang pertama kali, maka al-Kindi dijuluki sebagai bapak
filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi, kemudian dilanjutkan oleh berbagai
filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya masing-masing. Setelah
itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak perpaduan antara agama
dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang sejati ini adalah kebenaran
yang diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, untuk memperbaiki masyarakat, maka
harus mengamalkan filsafat. Maka dari itu, penulis akan membahas secara
mendetail pemikiran kedua tokoh tersebut dalam karya yang berjudul ” al-Razi:
Lima Kekal”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah Biografi Serta Riwayat
Pendidikan Al-Razi?
2.
Apa saja Karya-Karya Al-Razi Setelah
Mempelajari Berbagai Ilmu?
3.
Bagaimanakah Konsep Manusia Menurut
Pandangan Al-Razi?
4.
Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Al-Razi?
5.
Bagaimanakah Konsep Filsafat Al-Razi?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Biografi serta
Riwayat Pndidikan Al-Razi.
2.
Untuk Mengetahui Karya-Karya
Al-Raza.
3.
Untuk Mengetahui Konsep Manusia
Menurut Pandangan Al-Razi.
4.
Untuk Mengetahui Pemikiran Filsafat
Al-Razi.
5.
Untuk mengetahui Konsep Filsafat
Al-Razi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
dan Pendidikan Al-Razi
Al Razi adalah seorang filosof muslim
kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria
Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes.
Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama
Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251
M/865 M dan Beliau
wafat pada Tahun 925 M.[1]
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang
intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup respek terhadap ilmu kimia,
sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat dari eksperimen
yang dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat bahawa al-Razi mengalami
sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita
akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar
ilmu kedoktoran (obat-obatan) dengan sangat tekun pada seorang dokter dan
filosof yang lahir di Merv pada Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban
al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan minat al-Razi untuk
bergulat dengan filsafat agama, karena ayah guru tersebut adalah seorang
pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali
Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh
tahun setelah Ali Ibnu Rabban al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang
benar adalah al-Razi belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan
ilmu-ilmu kuno.
Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu
falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai
ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin
menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk
diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi
ia akan meninggal.
B. Karya-karya
al-Razi
Ada sebagian kalangan
yang menilai bahwa Al-Razi dalam menyelesaikan karya pemikirannya sering
merujuk pada karya Galen dalam buku That The Outstanding Fisician Must Also
Be A Filosofer. Akan tetapi sebagian karangan tersebut tidak sampai
ketangan cendekiawan setelahnya, berikut daftar karya-karya al-Razi :
- Kitab
Al-Asrar (bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of
Cremon);
- Al-Hawi
(merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke-XVI diEropa, setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
- Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang
kedokteran, 10 jilid);
- Kitab
al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan canpak serta
pencegahannya), sedangkan dalam bidang filsafat.
- Al-Thibb al-Ruhani;
- Al-Sirah al-Falsafiyyah;
- Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
- Kitab al-Ladzdzah;
- Kitab
al-'Ilm al-Illahi;
- Makalah
fi ma ba'dengan al-Thabi'iyyah; dan
- Al-Shukuk
'ala Proclus.
Tiga
karya terakhir sempat diliris ulang oleh Paus Kraus. Ketiga karya tersebut
sampai hari ini masih meninggalkan kontroversi mendalam soal validitas dan
originilitas pemikiran al-Razi. Hanya beberapa karya pendek, fragmen dan esai
yang dapat dijamin validitas dan originiltasnya.[2]
Al-Razi
banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim,
dan alkemi (Hadi, 2003:14) Buku-buku Al-Razi menurut Ibn An-Nadim (dalam
Syarif, 1993:36) adalah 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu
makalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Ibn Abi Usaibi’ah menyebutkan 236
karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas pengarangnya.
Buku-buku
Al-Razi yang banyak jumlahnya dikolompokkan menjadi:
a.
ilmu kedokteran,
b.
ilmu fisika,
c.
logika,
d.
matematika dan astronomi,
e.
komentar, ringkasan, dan ikhtisar,
f.
filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis,
g.
metafisika,
h.
teologi,
i.
alkimia,
j.
ateisme, dan
k.
campuran
C. Konsep
Manusia menurut al-Razi
Ar-Razi
membangun filsafat manusianya berdasarkan hasil pengembangan pemikiran para
filosof Yunani, terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles, dipadukan dengan
khazanah pemikiran yang berkembang pada masanya. Berbagai khazanah pemikiran
tersebut selanjutnya dikoreksi kembali berdasarkan hasil penelitiannya sendiri,
yang akhirnya membentuk sumbangan pemikiran orisinil ar-Razi.
Ar-Razi disebut sebagai peletak dasar filsafat manusia secara menyeluruh (falsafah
al-insaniyyah asy-syamilah), yang memandang manusia secara holistik, mulai
dari struktur biologis, emosi, intelegensi, serta potensi-potensi lain yang
dapat dibina agar menjadi manusia mulia. Pandangan tersebut terangkum dalam dua
tinjauan, yaitu; dari segi organisme atau biologis yang melahirkan Pengobatan
Fisik (at-Tibb al-Jasadi), serta dari segi psikis dan moral yang
melahirkan Pengobatan Ruhani (at-Tibb ar-Ruhani).
Pemikiran ar-Razi tentang manusia didasarkan
pada konsep tiga macam jiwa (tsalatsa an-nufus) Plato, dipadukan dengan
pendapat pemikir-pemikir lain, khususnya Sokrates dan Aristoteles. Struktur
kepribadian manusia terbangun oleh ketiga macam unsur jiwa tersebut, yaitu:
1.
Unsur jiwa
rasional dan ketuhanan (an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah)
2.
Unsur jiwa
amarah dan hewani (an-nafs al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah)
3.
Unsur jiwa
berkembang dan nafsu (an-nafs an-nabatiyyah wa an-namiyyah wa
asy-syahwaniyyah).
Masing-masing
unsur jiwa tersebut menyiratkan potensi dasar yang memiliki manusia sebagai
penopang kepribadiannya. Ketiganya menunjukkan gambaran kepribadian manusia
secara utuh menurut potensi-potensi dasar yang dimiliki. Kepribadian manusia
terbentuk dari cara bagaimana manusia memainkan ketiga potensi tersebut. Kecenderungan
ke salah satu potensi akan membentuk corak kepribadian tertentu.
Jiwa
rasional dan ketuhanan (an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah) membekali
manusia dengan potensi mengembangkan daya pikir ke arah kebenaran, yang muara
akhirnya adalah pencapaian keyakinan tentang Tuhan. Ar-Razi mengembangkan
pandangan ini berdasarkan pemikiran Aristoteles, yang menempatkan jiwa rasional
juga sebagai unsur al-Uluhiyyah dalam diri manusia. Unsur an-natiqah
bersifat kekal karena memiliki substansi khusus (jauhar khass), dan
merupakan harkat dan martabat tertinggi manusia yang mencerminkan hakekat
manusia itu sendiri.
Dua unsur
jiwa lainnya (an-nabatiyyah dan al-ghadlabiyyah) bersifat
temporal dan terbatas, mengingat keberadaannya hanya sebagai aparat (al-alah)
dari unsur yang pertama. Meski kedua unsur
tersebut memiliki keterbatasan, namun keberadaannya sangat penting guna
menopang jiwa an-natiqah. Jiwa an-nabatiyyah wa asy-syahwaniyyah
berfungsi memberi makan tubuh termasuk otak (ad-dimag), tempat jiwa
rasional bersemayam dan menjalankan fungsinya. Dalam tubuh manusia, otak
menjadi instrumen pertama (awwal alah wa adah) bagi jiwa rasional. Sedangkan fungsi jiwa al-ghadlabiyyah
adalah membantu jiwa rasional mengekang jiwa nafsu agar tidak menguasai jiwa
rasional.
D. Pemikiran
Filsafat al-Razi
Al-Razi
adalah rasionalis
murni yang menitik-tolakkan seluruhan pemikiran dan kecenderungan pada
kemampuan daya rasional. Di bagian pengantar Al-Tib Al-Ruhani, al-Razi menulis
:
“Tuhan segala puji bagi-Nya, yang
telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak
manfaat inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat
segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal
kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita.
Dengan akal pula, memperoleh pengetahuan tentang tuhan, satu pengetahuan
tertinggi yang kita peroleh”.
Al-Razi memiliki kecenderungan empirik
dalam memandang keseluruhan objek filsafat. Studi klinis kedokterannya membantu
al-Razi dalam menentukan metode yang kuat untuk dijadikan fondasi pemikiran
Filsafat secara keseluruhan. Namun banyak kalangan yang kesulitan untuk
memberikan pemaparan yang jelas soal pemikiran Filsafat al-Razi. Hampir seluruh
pemikirannya tercurah langsung dalam lapangan praktik melalui disiplin
Kedokteran. Sebagian kalangan bahkan menilai al-Razi adalah sebagai sosok yang
kurang tekun dam mencermati seluruh problem filosofis. Namun demikian, Filsafat
al-Razi cukup Aristotetelian. Hal ini terbukti dalam pandangannya tentang jiwa
sebagai substansi dan akal sebagi peranti jiwa yang pernah dilontarkannya.
Al-Razi berkeyakinan bahwa setiap
filosof dari berbagai aliran dan ragam pemikirannya adalah orang-orang yang
kreatif, giat dan tak kenal lelah dalam melakukan ijtihad, kajian
filosofis, dan masalah-masalah pelik lain. Seperti para pengkritik sebelumnya,
al-Razi melihat bahwa perselisihan-perselisihan dalam Filsafat bukan merupakan
tempat ideal bagi persemaian pengetahuan dan peluang-peluang kemunculan
intelektualitas. Perselisihan merupakan skandal yang menunjukan nihilitas
tanggung jawab intelektual. Dengan tegas ia menyatakan bahwa tiap manusia mampu
berpikir sendiri; mereka tidak membutuhkan pemimpin atau pembimbing untuk
menunjukan kepada jalan kehidupan.[3]
Menurut ar-Razi, akal adalah sesuatu
yang berfungsi menggambarkan berbagai aktifitas intelektual (af’al
al-‘aqliyyah) sebelum tampak dan terasakan oleh indera yang membuat
seseorang seolah telah melihat dan merasakannya. Gambaran tersebut kemudian
terefleksikan ke dalam aktivitas-aktivitas inderawi (af’al al-hissiyyah),
hingga obyek atau stimulus yang direspon sama persis dengan yang digambarkan
dalam ruang hayal.
E. Filsafat
al-Razi
a.
Filsafat
Lima Kekal/Metafisika
Filsafat al-Razi yang paling terkenal
dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal, yakni: Tuhan, Jiwa Universal,
Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :
البا رى تعا لى والنفسول
الكلية والهيلولا للاولى والمكن المطلق والزمن المطلق
Mengenai yang terakhir ia membuat
perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara al-dahr
(duration) dan al-waqt (time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan
tak berakhir, dan kedua disifati oleh angka.
Bagi benda (being) kelima hal itu
adalah:
a.
Materi, yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
b.
Ruang, yakni; karena materi mengambil tempat.
c.
Zaman, yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.
d.
Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh.
Di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan
ciptaan-ciptaan yang teratur.
e.
Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan
aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua
lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.[4]
Sedangkan sistematika filsafat Lima
Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
Al-Bari Ta’ala (Allah); hidup dan aktif dengan sifat Independen. Menurut
al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan
Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah
ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun
materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti di susun dari bahan
yang telah ada. Kedua,
an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa universal); hidup dan aktif serta menjadi al-Mabda’
al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifitasnya bersifat
independen. An-nafs al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang
berbentuk (form) sehingga bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan
benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda
itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda alam dan badan
manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin
lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk
menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
Ketiga,
al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula
adalah subtansi (jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah
(atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia hancur, volume juga
akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang sangat padat menjadi substansi
bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi
udara dan yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula al-ula, kekal karena
tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui
susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana
dan mudah. Dengan kata lain, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa
bahan sebelumya yang kekal karena mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari
Yang Maha Kekal.
Keempat,
al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang kekal
membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ”tempat” yang sesuai. Ada dua macam
ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular
terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang
universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja dapat
terjadi kehampaan tanpa maujud.
Kelima,
az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau
masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal
yang biasa disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak terikat pada
gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.[5]
b.
Logika/Rasional
Al-Razi adalah termasuk seorang
rasionalis murni. Ia hanya mempercayai kekuatan akal. Didalam kedokteran studi
klinis yang dilakukannya menemukan metoda yang kuat, berpijak kepada observasi
dan eksperimen. Sebagaimana yang terdapat pada kitab al faraj ba’d al Syaiddah,
karya Al-Tanukhi (wafat 384 H).
Al-Razi terhadap akal tampak sangat
jelas sebagaimana yang al-Razi katakan dalam bukunya “al-Thibb”. Ia mengatakan: “...Tuhan
segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat
memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada
kita. Dengan akal kita dapat melihat segala yang berguna bagi kita dan yang
membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang
jauh dan yang tersembunyi dari kita, dengan alat itu pula kita dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh,
jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh merendahkannya,
kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu atau tidak boleh
mengendalikan, sebab ia adalah pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah
tetapi kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala
masalah dengannya, kita harus susuai perintahnya.[6]
Demikian di antara pernyataan Al-Razi yang di
nilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi
Al-Razi.
Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa
Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya
sungguhpun bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam. Selanjutnya, Harun
nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni:
Ø Tidak
percaya pada wahyu
Ø Al-Quran
bukan mukjizat
Ø Adanya
hal-hal yang kekal selain Allah.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan, Al- Razi memandang
kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam
materi. Untuk kembali ke Tuhan, ruh harus terlebih dahulu
disucikan dan yang dapat menyucikan ruh ialah ilmu pengetahuan dan
berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi
Al-Razi
menganjurkan jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus
menjauhi kesenangannya
yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio.
Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau
berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.
Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan
akal menjadikan
pandangannya tentang agama juga didasarkan pada pendekatan
rasional.
Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang
harus diterima
begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama didasarkan pada alasan-alasan yang bisa
diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi banyak menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang
bertentangan dengan akal
sehat maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia untuk membebaskan diri
dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi filsafat semula,
yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari mitologi supernaturalisme di
bawah bendera rasionalisme.
c.
Moral/Etika
Al-Razi memiliki andil yang sangat besar
dalam ilmu akhlak. Al-Razi melihat kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar
kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena
manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata lain,
kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang
ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu.[7]
Kebahagiaan diartikan sebagai kembalinya
sesuatu yang hilang karena kemudlaratan yang akan diperoleh bilamana akal
berhasil mengendalikan berbagai kecenderungan jiwa secara berimbang.
Keseimbangan tersebut tercermin dalam cara hidup seseorang di lingkungan
masyarakatnya yang tidak hanya mengejar kesenangan dunia (hedonis), serta tidak
menghabiskan waktu untuk kepuasan spiritual.
Prinsip keseimbangan juga menjadi dasar
tata hubungan kemasyarakatan, mengingat manusia dipandang sebagai makhluk
sosial, yang tidak dapat hidup secara layak tanpa bantuan orang lain. Manusia
hanya mampu melakukan jenis pekerjaan tertentu, yang karenanya kehidupan antar
warga masyarakat hanya dapat disempurnakan dan diorganisasikan dengan baik
melalui kemauan untuk saling menolong, bekerja sama, serta saling setia
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral,
sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah
al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti berdasarkan pada petunjuk rasio.
Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia memperingatkan
bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama,
bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada
gilirannya akan menghancurkan manusia.[8]
Nafsu dinyatakan sebagai kecenderungan
alamiah dalam diri manusia, berupa dorongan biologis maupun psikis untuk
mencari kesenangan dan kelezatan tanpa adanya pertimbangan tentang berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul. Akal mampu memberi jalan keluar atas berbagai
persoalan, serta dapat mengangkat derajat manusia ke tingkat yang paling agung.
Akal yang bersumber pada jiwa rasional dan Ilahiyah memberikan pertimbangan
dari aspek material maupun spiritual, sehingga menjangkau berbagai konsekuensi
duniawi maupun ukhrawi.
Karena itu kebaikan untuk kelas manusia
terletak pada pengendalian nafsu hingga jiwa yang penuh nafsu terbiasa tunduk
dan mengikuti jiwa rasionalnya. Kebaikan yang hanya didasarkan pada pemuasan
kesenangan dan nafsu jasmani adalah kebaikan untuk kelas binatang (al-bahaim).
Binatang hanya memiliki kebutuhan untuk memenuhi nafsu secara bebas tanpa
tuntutan tanggung jawab atau konsekuwensi tertentu yang harus ditanggung. Jiwa
yang berkembang dalam diri binatang hanya jiwa nafsu saja. Kelebihan fisik
binatang kurang memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
berpikirnya. Karena itu kebaikan tidak dapat didasarkan atas pemenuhan
kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan diukur dengan pemenuhan kepuasan
jasmaniyah, maka binatang lebih mulia dari pada manusia, bahkan lebih mulia
dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu jasmani.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk.
Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang bersifat terpuji, dan untuk
kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian
pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran
tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan,
maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran apabila kikiran
orang tersebut mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah
kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya maka hal yang demikian
haruslah diperangi.[9]
d.
Kenabian
Meskipun Ar-Razi seorang rasionalis
murni ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian.
Badawi menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut
:
1. Bahwa akal sudah memadai untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang
berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan
mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi?
2. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa
orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan
yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena
pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3. Para nabi saling bertentangan.
Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka
berbeda? Setelah menolak kenabian kemudian Ar-Razi mengkritik agama secara
umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi kristen ataupun
Majusi. loyalitas manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan,
kekuasan ulama yang mengabdi negara dan agama, upacara-upacara, dan
peribadatan, mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif. Kemudian Al-Razi juga
mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen,
Mani, dan Majuzi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan, tidaklah masuk
akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan
kemudaratan-pertentangan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab
wahyu Al-Quran dan injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Quran, baik gayanya maupun
isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam
gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku–buku ilmiah daripada Al-Quran.
Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang
pemikir Muslim pun seberani dia.
e.
Fisafat Jiwa
Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh),
bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi, yakni,
sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu
adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena
kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh
kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk
membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam.
Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia
yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang
kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan
alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan
dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan membuat
pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi
jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang
dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan
rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian,
tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.
BAB III
Simpulan
Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar
Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan,
dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin
dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.Al-Razi banyak
menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim, dan
alkemi.
Filsafat Al-Razi meliputi filsafat lima
kekal, filsafat rasionalis, dan filsafat moral. Filsafat lima kekal Al-Razi
atau metafisika, yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha
Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal. (3) Al-Hayulal-Ula,
materi pertama.(4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut.(5) Az-Zamanul-
Mutlaq, masa yang absolut. Filsafat rasional/logika Al-Razi menunjukkan
bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis religius yang hanya percaya pada
kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang
buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama
besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan suasana perkembangannya.
Filsafat Al-Razi mengajarkan bahwa kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar
kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena
manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata lain,
kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang
ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Abu Bakar, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd
Al-Lathif Al-Ghaid, Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978
Ar-Razi, Rasail Al-Falsafiyah.e-book, www.
Al-mostafa.com.
Iqbal, Muhammad. 2003. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah.
Jakarta: Intimedia & LadangPustaka.
Mustofa, A. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2004
Nasution, Harun. 2008. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim
Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
[1]
Harun Nasution berbeda
pendapat mengenai lahirnya Al-Razi, ia menuliskan dalam bukunya Falsafah dan
Mitisisme dalam Islam, bahwa al-Razi lahir pada tahun 863. Lebih jelas lihat,
Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam.
[2]
Hasan Basri filsafat Islam, hlm 57
[3]
Hasan Basri Filsafat Islam hlm : 58-60
[8]
Hasyimsyah
Nasution, 2005:20
Posting Komentar