Selamat Datang di Blog Anggylhy 26

Filsafat Ar-Razi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam muncul sebagai sistem peradaban yang mandiri, maka hal itu merupakan realitas sejarah yang tentu saja bukan untuk arah utama Islam sebagai agama yang hadir. Dalam arti, Allah mengutus Muhammad membawa Islam tentulah “tidak direncanakan” untuk muncul sebagai sebuah peradaban. Islam muncul sebagai sebuah agama dengan membawa aneka sistem keagamaan. Oleh karenanya, harus dipahami perbedaan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai peradaban.
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Filsafat Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dimulai dari al-Kindi sebagai filosof Islam pertama kali, kemudian disusul oleh para filosof yang lainnya. Karena merupakan filosof yang pertama kali, maka al-Kindi dijuluki sebagai bapak filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi, kemudian dilanjutkan oleh berbagai filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya masing-masing. Setelah itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak perpaduan antara agama dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang sejati ini adalah kebenaran yang diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, untuk memperbaiki masyarakat, maka harus mengamalkan filsafat. Maka dari itu, penulis akan membahas secara mendetail pemikiran kedua tokoh tersebut dalam karya yang berjudul ” al-Razi: Lima Kekal”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Biografi Serta Riwayat Pendidikan Al-Razi?
2.      Apa saja Karya-Karya Al-Razi Setelah Mempelajari Berbagai Ilmu?
3.      Bagaimanakah Konsep Manusia Menurut Pandangan Al-Razi?
4.      Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Al-Razi?
5.      Bagaimanakah Konsep Filsafat Al-Razi?
C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Biografi serta Riwayat Pndidikan Al-Razi.
2.      Untuk Mengetahui Karya-Karya Al-Raza.
3.      Untuk Mengetahui Konsep Manusia Menurut Pandangan Al-Razi.
4.      Untuk Mengetahui Pemikiran Filsafat Al-Razi.
5.      Untuk mengetahui Konsep Filsafat Al-Razi.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi dan Pendidikan Al-Razi
Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M dan Beliau wafat pada Tahun 925 M.[1]
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar ilmu kedoktoran (obat-obatan) dengan sangat tekun pada seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan minat al-Razi untuk bergulat dengan filsafat agama, karena ayah guru tersebut adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali Ibnu Rabban al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah al-Razi belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.
Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal.
B.     Karya-karya al-Razi
Ada sebagian kalangan yang menilai bahwa Al-Razi dalam menyelesaikan karya pemikirannya sering merujuk pada karya Galen dalam buku That The Outstanding Fisician Must Also Be A Filosofer. Akan tetapi sebagian karangan tersebut tidak sampai ketangan cendekiawan setelahnya, berikut daftar karya-karya al-Razi :
  1. Kitab Al-Asrar (bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of Cremon);
  2. Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke-XVI diEropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
  3.  Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
  4. Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan canpak serta pencegahannya), sedangkan dalam bidang filsafat.
  5.  Al-Thibb al-Ruhani;
  6.  Al-Sirah al-Falsafiyyah;
  7.  Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
  8.  Kitab al-Ladzdzah;
  9. Kitab al-'Ilm al-Illahi;
  10. Makalah fi ma ba'dengan al-Thabi'iyyah; dan
  11. Al-Shukuk 'ala Proclus.
Tiga karya terakhir sempat diliris ulang oleh Paus Kraus. Ketiga karya tersebut sampai hari ini masih meninggalkan kontroversi mendalam soal validitas dan originilitas pemikiran al-Razi. Hanya beberapa karya pendek, fragmen dan esai yang dapat dijamin validitas dan originiltasnya.[2]
Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim, dan alkemi (Hadi, 2003:14) Buku-buku Al-Razi menurut Ibn An-Nadim (dalam Syarif, 1993:36) adalah 118 buku, 19 surat,  4 buku, 6 surat, dan satu makalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Ibn Abi Usaibi’ah menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas pengarangnya.
Buku-buku Al-Razi yang banyak jumlahnya dikolompokkan menjadi:
a.       ilmu  kedokteran,
b.      ilmu fisika,
c.       logika,
d.      matematika dan astronomi,
e.       komentar, ringkasan, dan ikhtisar,
f.       filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis,
g.      metafisika,
h.      teologi,
i.        alkimia,
j.        ateisme, dan
k.      campuran
C.    Konsep Manusia menurut al-Razi
Ar-Razi membangun filsafat manusianya berdasarkan hasil pengembangan pemikiran para filosof Yunani, terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles, dipadukan dengan khazanah pemikiran yang berkembang pada masanya. Berbagai khazanah pemikiran tersebut selanjutnya dikoreksi kembali berdasarkan hasil penelitiannya sendiri, yang akhirnya membentuk sumbangan pemikiran orisinil ar-Razi.
         Ar-Razi disebut sebagai peletak dasar filsafat manusia secara menyeluruh (falsafah al-insaniyyah asy-syamilah), yang memandang manusia secara holistik, mulai dari struktur biologis, emosi, intelegensi, serta potensi-potensi lain yang dapat dibina agar menjadi manusia mulia. Pandangan tersebut terangkum dalam dua tinjauan, yaitu; dari segi organisme atau biologis yang melahirkan Pengobatan Fisik (at-Tibb al-Jasadi), serta dari segi psikis dan moral yang melahirkan Pengobatan Ruhani (at-Tibb ar-Ruhani).
 Pemikiran ar-Razi tentang manusia didasarkan pada konsep tiga macam jiwa (tsalatsa an-nufus) Plato, dipadukan dengan pendapat pemikir-pemikir lain, khususnya Sokrates dan Aristoteles. Struktur kepribadian manusia terbangun oleh ketiga macam unsur jiwa tersebut, yaitu:
1.       Unsur jiwa rasional dan ketuhanan (an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah)
2.       Unsur jiwa amarah dan hewani (an-nafs al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah)
3.       Unsur jiwa berkembang dan nafsu (an-nafs an-nabatiyyah wa an-namiyyah wa asy-syahwaniyyah).
Masing-masing unsur jiwa tersebut menyiratkan potensi dasar yang memiliki manusia sebagai penopang kepribadiannya. Ketiganya menunjukkan gambaran kepribadian manusia secara utuh menurut potensi-potensi dasar yang dimiliki. Kepribadian manusia terbentuk dari cara bagaimana manusia memainkan ketiga potensi tersebut. Kecenderungan ke salah satu potensi akan membentuk corak kepribadian tertentu.
Jiwa rasional dan ketuhanan (an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah) membekali manusia dengan potensi mengembangkan daya pikir ke arah kebenaran, yang muara akhirnya adalah pencapaian keyakinan tentang Tuhan. Ar-Razi mengembangkan pandangan ini berdasarkan pemikiran Aristoteles, yang menempatkan jiwa rasional juga sebagai unsur al-Uluhiyyah dalam diri manusia. Unsur an-natiqah bersifat kekal karena memiliki substansi khusus (jauhar khass), dan merupakan harkat dan martabat tertinggi manusia yang mencerminkan hakekat manusia itu sendiri.
Dua unsur jiwa lainnya (an-nabatiyyah dan al-ghadlabiyyah) bersifat temporal dan terbatas, mengingat keberadaannya hanya sebagai aparat (al-alah) dari unsur yang pertama. Meski kedua unsur tersebut memiliki keterbatasan, namun keberadaannya sangat penting guna menopang jiwa an-natiqah. Jiwa an-nabatiyyah wa asy-syahwaniyyah berfungsi memberi makan tubuh termasuk otak (ad-dimag), tempat jiwa rasional bersemayam dan menjalankan fungsinya. Dalam tubuh manusia, otak menjadi instrumen pertama (awwal alah wa adah) bagi jiwa rasional.  Sedangkan fungsi jiwa al-ghadlabiyyah adalah membantu jiwa rasional mengekang jiwa nafsu agar tidak menguasai jiwa rasional.
D.    Pemikiran Filsafat al-Razi
Al-Razi adalah rasionalis murni yang menitik-tolakkan seluruhan pemikiran dan kecenderungan pada kemampuan daya rasional. Di bagian pengantar Al-Tib Al-Ruhani, al-Razi menulis :
Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak manfaat inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, memperoleh pengetahuan tentang tuhan, satu pengetahuan tertinggi yang kita peroleh”.
Al-Razi memiliki kecenderungan empirik dalam memandang keseluruhan objek filsafat. Studi klinis kedokterannya membantu al-Razi dalam menentukan metode yang kuat untuk dijadikan fondasi pemikiran Filsafat secara keseluruhan. Namun banyak kalangan yang kesulitan untuk memberikan pemaparan yang jelas soal pemikiran Filsafat al-Razi. Hampir seluruh pemikirannya tercurah langsung dalam lapangan praktik melalui disiplin Kedokteran. Sebagian kalangan bahkan menilai al-Razi adalah sebagai sosok yang kurang tekun dam mencermati seluruh problem filosofis. Namun demikian, Filsafat al-Razi cukup Aristotetelian. Hal ini terbukti dalam pandangannya tentang jiwa sebagai substansi dan akal sebagi peranti jiwa yang pernah dilontarkannya.
Al-Razi berkeyakinan bahwa setiap filosof dari berbagai aliran dan ragam pemikirannya adalah orang-orang yang kreatif, giat dan tak kenal lelah dalam melakukan ijtihad, kajian filosofis, dan masalah-masalah pelik lain. Seperti para pengkritik sebelumnya, al-Razi melihat bahwa perselisihan-perselisihan dalam Filsafat bukan merupakan tempat ideal bagi persemaian pengetahuan dan peluang-peluang kemunculan intelektualitas. Perselisihan merupakan skandal yang menunjukan nihilitas tanggung jawab intelektual. Dengan tegas ia menyatakan bahwa tiap manusia mampu berpikir sendiri; mereka tidak membutuhkan pemimpin atau pembimbing untuk menunjukan kepada jalan kehidupan.[3]
Menurut ar-Razi, akal adalah sesuatu yang berfungsi menggambarkan berbagai aktifitas intelektual (af’al al-‘aqliyyah) sebelum tampak dan terasakan oleh indera yang membuat seseorang seolah telah melihat dan merasakannya. Gambaran tersebut kemudian terefleksikan ke dalam aktivitas-aktivitas inderawi (af’al al-hissiyyah), hingga obyek atau stimulus yang direspon sama persis dengan yang digambarkan dalam ruang hayal.
E.     Filsafat al-Razi
a.              Filsafat Lima Kekal/Metafisika
Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal, yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :
البا رى تعا لى والنفسول الكلية والهيلولا للاولى والمكن المطلق والزمن المطلق
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara al-dahr (duration) dan al-waqt (time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak berakhir, dan kedua disifati oleh angka.
Bagi benda (being) kelima hal itu adalah:
a.    Materi, yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
b.    Ruang, yakni; karena materi mengambil tempat.
c.    Zaman, yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.
d.   Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.
e.    Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.[4]
Sedangkan sistematika filsafat Lima Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Al-Bari Ta’ala (Allah); hidup dan aktif dengan sifat Independen. Menurut al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti di susun dari bahan yang telah ada.        Kedua, an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa universal); hidup dan aktif serta menjadi al-Mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifitasnya bersifat independen. An-nafs al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan  kesenangannya. Karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
Ketiga, al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula adalah subtansi (jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah (atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia hancur, volume juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi udara dan yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula al-ula, kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana dan mudah. Dengan kata lain, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumya yang kekal karena mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha Kekal.
Keempat, al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ”tempat” yang sesuai. Ada dua macam ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja dapat terjadi kehampaan tanpa maujud.
Kelima, az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal yang biasa disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.[5]
b.             Logika/Rasional
Al-Razi adalah termasuk seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai kekuatan akal. Didalam kedokteran studi klinis yang dilakukannya menemukan metoda yang kuat, berpijak kepada observasi dan eksperimen. Sebagaimana yang terdapat pada kitab al faraj ba’d al Syaiddah, karya Al-Tanukhi (wafat 384 H).
Al-Razi terhadap akal tampak sangat jelas sebagaimana yang al-Razi katakan dalam  bukunya “al-Thibb”. Ia mengatakan: “...Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari kita, dengan alat itu pula kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh merendahkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu atau tidak boleh mengendalikan, sebab ia adalah pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetapi kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus susuai perintahnya.[6]
 Demikian di antara pernyataan Al-Razi yang di nilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi.
Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam. Selanjutnya, Harun nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni:
Ø  Tidak percaya pada wahyu
Ø  Al-Quran bukan mukjizat
Ø  Adanya hal-hal yang kekal selain Allah.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al-                          Razi memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan                   dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan, ruh harus                            terlebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan ruh ialah ilmu                          pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi                      dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi Al-Razi                                menganjurkan jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi                         kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau                     bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai                             tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk                           memelihara diri.
Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan akal menjadikan                                    pandangannya tentang agama juga didasarkan pada pendekatan rasional.                            Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang harus                      diterima begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama didasarkan                   pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi banyak                menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan akal                        sehat maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia                         untuk membebaskan diri dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi                            filsafat semula, yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari                mitologi supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.
c.              Moral/Etika
Al-Razi memiliki andil yang sangat besar dalam ilmu akhlak. Al-Razi melihat kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu.[7]
Kebahagiaan diartikan sebagai kembalinya sesuatu yang hilang karena kemudlaratan yang akan diperoleh bilamana akal berhasil mengendalikan berbagai kecenderungan jiwa secara berimbang. Keseimbangan tersebut tercermin dalam cara hidup seseorang di lingkungan masyarakatnya yang tidak hanya mengejar kesenangan dunia (hedonis), serta tidak menghabiskan waktu untuk kepuasan spiritual.
Prinsip keseimbangan juga menjadi dasar tata hubungan kemasyarakatan, mengingat manusia dipandang sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup secara layak tanpa bantuan orang lain. Manusia hanya mampu melakukan jenis pekerjaan tertentu, yang karenanya kehidupan antar warga masyarakat hanya dapat disempurnakan dan diorganisasikan dengan baik melalui kemauan untuk saling menolong, bekerja sama, serta saling setia
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti berdasarkan pada petunjuk rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya akan menghancurkan manusia.[8]
Nafsu dinyatakan sebagai kecenderungan alamiah dalam diri manusia, berupa dorongan biologis maupun psikis untuk mencari kesenangan dan kelezatan tanpa adanya pertimbangan tentang berbagai konsekuensi yang mungkin timbul. Akal mampu memberi jalan keluar atas berbagai persoalan, serta dapat mengangkat derajat manusia ke tingkat yang paling agung. Akal yang bersumber pada jiwa rasional dan Ilahiyah memberikan pertimbangan dari aspek material maupun spiritual, sehingga menjangkau berbagai konsekuensi duniawi maupun ukhrawi.
Karena itu kebaikan untuk kelas manusia terletak pada pengendalian nafsu hingga jiwa yang penuh nafsu terbiasa tunduk dan mengikuti jiwa rasionalnya. Kebaikan yang hanya didasarkan pada pemuasan kesenangan dan nafsu jasmani adalah kebaikan untuk kelas binatang (al-bahaim). Binatang hanya memiliki kebutuhan untuk memenuhi nafsu secara bebas tanpa tuntutan tanggung jawab atau konsekuwensi tertentu yang harus ditanggung. Jiwa yang berkembang dalam diri binatang hanya jiwa nafsu saja. Kelebihan fisik binatang kurang memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Karena itu kebaikan tidak dapat didasarkan atas pemenuhan kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan diukur dengan pemenuhan kepuasan jasmaniyah, maka binatang lebih mulia dari pada manusia, bahkan lebih mulia dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu jasmani.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran apabila kikiran orang tersebut mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya maka hal yang demikian haruslah diperangi.[9]
d.             Kenabian
Meskipun Ar-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Badawi menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut :
1. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi?
2. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3. Para nabi saling bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka berbeda? Setelah menolak kenabian kemudian Ar-Razi mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi kristen ataupun Majusi. loyalitas manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasan ulama yang mengabdi negara dan agama, upacara-upacara, dan peribadatan, mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif. Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majuzi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan, tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudaratan-pertentangan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Quran dan injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Quran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku–buku ilmiah daripada Al-Quran. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang pemikir Muslim pun seberani dia.
e.              Fisafat Jiwa
Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia  yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh  adalah ilmu pengetahuan dan membuat pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.

















BAB III
Simpulan

Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim, dan alkemi.
Filsafat Al-Razi meliputi filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, dan filsafat moral. Filsafat lima kekal Al-Razi atau metafisika, yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal. (3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama.(4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut.(5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut. Filsafat rasional/logika Al-Razi menunjukkan bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis religius yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan suasana perkembangannya. Filsafat Al-Razi mengajarkan bahwa kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Razi, Abu Bakar, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid,  Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978
Ar-Razi, Rasail Al-Falsafiyah.e-book, www. Al-mostafa.com.
Iqbal, Muhammad. 2003. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta: Intimedia & LadangPustaka.
Mustofa, A. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A.  Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun. 2008. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963





[1] Harun Nasution berbeda pendapat mengenai lahirnya Al-Razi, ia menuliskan dalam bukunya Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, bahwa al-Razi lahir pada tahun 863. Lebih jelas lihat, Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam.
[2] Hasan Basri filsafat Islam, hlm 57
[3] Hasan Basri Filsafat Islam hlm : 58-60
[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam
[5] Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
[6] Ar-Razi, Rasail Al-Falsafiyah.e-book, www. Al-mostafa.com.
[7] Iqbal, 2003:79
[8] Hasyimsyah Nasution, 2005:20

[9] Hasyimsyah Nasution, 2005:21 
Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

 
Support : Link here | Link here | Link here
Copyright © 2014. @26 Selalu Dihati Selalu Dinanti - All Rights Reserved
Template by Anggylhy Published by Cargam Schoolzine
Proudly powered by Blogger