Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini ditunjukkan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran.
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang
hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu
keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadilah), ilmu tentang semua hal yang
berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang
merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf bersifat teori, yaitu mengetahui
kebenaran dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam
tindakan. Semakin dekat dengan kebenaran, semakin dekat pula kepada
kesempurnaan.
Dalam keterangan Al-kindi tersebut terdapat
unsur-unsur pikiran Plato dan Aristoteles. Unsur Aristoteles terlihat pada
pembagian filsafat bersifat teori dan amalan. Unsur Plato ialah tercermin dari
pendefinisinya terhadap filsafat, karena sebelum Al-Kindi, Plato telah
mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai
kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada
dugaan (dhan).
Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato
dan aliran Pitagoras. Aliran Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke
arah ilmu filsafat. Sesuai dengan itu, maka Al-Kindi dalam salah satu
risalahnya menyatakan perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan
obat-obatan. Dalam riasalah lain yang berjudul Buku Aristoteles, Al-kindi
menekankan perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan
urut-urutan kegunaan dan tingkatannya.
Dengan demikian maka Al-Kindi selain memperlihatkan corak Platonisme dan
Pitagorasme, ia merupakan pengikut
Aristoteles pertama di Arab.
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat
dalam berbagai aspek antara lain:
1.
Pemaduan
Filsafat dan Agama
Al-Kindi
orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat
dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak
bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran.
Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan,
keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan
memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat.
Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan
keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi
telah mengingkari kebenaran, dan karena itu ia dapat dikelompokan kepada kafir,
karena orang tersebut telah jauh dari kebenaran, kendatipun ia menganggap
dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran
termasuk pengetahuan tentang tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik
dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk
menghindari hal-hal yang sebaliknya. Dengan demikian, kita harus menyambut dengan
gembira kebenaran dari manapun datangnya, sebab tidak ada yang lebih berharga
bagi para pencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Karena itu, tidak
wajar merendahkan kebenaran serta meremehkan orang yang mengatakan dan
mengajarkannya. Tidak ada seorangpun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran. Jika diibaratkan maka
orang yang memperdagangkan agama dan hakikatnya orang itu tidak lagi beragama
karena ia buka orang beragama. Orang yang mengingkari usaha mengetahui hakikat
sesuatu berhak untuk membebaskannya dari agama, sehingga ia disebut sebagai
orang kafir.
Disamping
argumen rasional, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya
menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang
memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam
semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang hanya terjemahan adalah sebagai
berikut.
a)
Surat Al-Nasyr [59]: 2
uqèd
üÏ%©!$#
ylt÷zr&
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
ô`ÏB
È@÷dr&
É=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNÏdÌ»tÏ
ÉA¨rL{
Îô³ptø:$#
4 $tB
óOçF^oYsß
br&
(#qã_ãøs
( (#þqZsßur
Oßg¯Rr&
óOßgçGyèÏR$¨B
NåkçXqÝÁãm
z`ÏiB
«!$#
ãNßg9s?r'sù
ª!$#
ô`ÏB
ß]øym
óOs9
(#qç7Å¡tGøts
( t$xs%ur
Îû
ãNÍkÍ5qè=è%
|=ôã9$#
4 tbqç/Ìøä
NåksEqãç/
öNÍkÏ÷r'Î/
Ï÷r&ur
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
(#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$#
ÇËÈ
Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang
yang mempunyai wawasan.
b)
Surat Al-A’raf [7]: 185
óOs9urr&
(#rãÝàZt
Îû
ÏNqä3n=tB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
$tBur
t,n=y{
ª!$#
`ÏB
&äóÓx«
÷br&ur
#Ó|¤tã
br&
tbqä3t
Ïs%
z>utIø%$#
öNßgè=y_r&
( Ädr'Î7sù
¤]Ïtn
¼çny÷èt/
tbqãZÏB÷sã
ÇÊÑÎÈ
Dan Apakah mereka tidak
memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?
Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
c)
Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20
xsùr&
tbrãÝàYt
n<Î)
È@Î/M}$#
y#ø2
ôMs)Î=äz
ÇÊÐÈ n<Î)ur
Ïä!$uK¡¡9$#
y#ø2
ôMyèÏùâ
ÇÊÑÈ n<Î)ur
ÉA$t6Ågø:$#
y#øx.
ôMt6ÅÁçR
ÇÊÒÈ n<Î)ur
ÇÚöF{$#
y#øx.
ôMysÏÜß
ÇËÉÈ
Maka
apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan bumi,
bagaimana ia dihamparkan.
d)
Surat Al-Baqarah [2]: 164
¨bÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏG÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$yg¨Y9$#ur
Å7ù=àÿø9$#ur
ÓÉL©9$#
ÌøgrB
Îû
Ìóst7ø9$#
$yJÎ/
ßìxÿZt
}¨$¨Z9$#
!$tBur
tAtRr&
ª!$#
z`ÏB
Ïä!$yJ¡¡9$#
`ÏB
&ä!$¨B
$uômr'sù
ÏmÎ/
uÚöF{$#
y֏t/
$pkÌEöqtB
£]t/ur
$pkÏù
`ÏB
Èe@à2
7p/!#y
É#ÎóÇs?ur
Ëx»tÌh9$#
É>$ys¡¡9$#ur
̤|¡ßJø9$#
tû÷üt/
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbqè=É)÷èt
ÇÊÏÍÈ
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang
berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat
tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaan
antara keduanya. Sebagai dijelaskan al-Kindi dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles, sebagai
beritut :
a.
Filsafat termasuk humaniora yang dicapai
filsuf dengan berfikir, belajar, sedangkan agama aalah ilmu ketuhanan yang
menemapati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung uleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
b.
Jawaban filsafat menunjukan
ketidakpastian (semu) dan memerlukan berfikir dan perenungan. Sedangkan agama
lewat dalil-dalilnya yang dibawa al-Quran memberi jawaban secara pasti dan
meyakinkan dengan mutlak. Bandingkan dengan surah yasin ayat 79-81
c.
Filsafat mempergunakan metode logika,
sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun al-Kindi termasuk pengikut
rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal. Baginya,
tanggapan pemikiran belum dapat menjamin kebenaran sesuatu, karena itu
dibutuhkan alat menjamin untuk kebenaran sesuatu yaitu mura’ah al-zhani’ah anil khatha’i[1]
2.
Filsafat
Ketuhanan
Selain
seorang filosof, Al-kindi adalah seorang ahli ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu
pengetahuan menjadi dua, yaitu :
a.
Pengetahuan Ilahi (Divine Science)
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an yaitu Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan
ini adalah keyakinan.
b.
Pengetahuan Manusiawi (Human Science),
atau falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Filsafat
baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (knowledfe of truth). Di sinilah
terlihat persamaan filsafat dengan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa
yang benar dan apa yang baik, begitu pula tujuan tujuan filsafat. Disamping
wahyu, agama menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar
pertama (the fisrt truth) bagi Al-kindi ialah Tuhan. Dengan demikian, pada
dasarnya filsafat membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling
tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kindi “Filsafat
yang tekemuka dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu tentang
yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”
Tuhan dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai
hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk
dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak
tersusun materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk
mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan
tidak serupa dengan Tuhan. Tuhan itu unik. Ia adalah Yang Benar Pertama dan
Yang Benar Tunggal. Ia semata-mata satu.. hanya ialah yang satu, selain Tuhan
semuanya mengandung arti banyak.
Manusia dapat saja mengatakan bahwa membicarakan
Tuhan adalah pembicaraan yang supra-rasional. Benar bahwa Tuhan itu tidak
sepenuhnya rasional bila dibicarakan dengan standar rasinalitas manusia. Dalam
masalah ini, hal-hal yang supra-rasional mesti dimasukan ke dalam kedalam
sistem keyakinan. Meyakini sesuatu yang supra-rasional merupakan bagian dari
pekerjaan hati (pemandu rasa). Dari sini terlihat diutamakannya prinsip keseimbangan antara akal dan hati,
antara rasio dan iman dalam filsafat al-Kindi.
Pengetahuan tentang tuhan, oleh al-Kindi disebut
sebagai filsafat awal atau filsafat pertama, filsafat yang mewacanakan al-Haqq
sebagai telos yang akan mengakhiri kerja filsafat. Al-kindi pernah berpendapat
mirip denganyang dikemukakan oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa karena
Allah, maha Terpuji, Dia adalah penyebab gerak ini yang Abadi (Qadim), maka ia
tak dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa mengerakan diri-Nya.
Secara sederhana, tunggal sehingga tak dapat dipecah lagi menjadi lebih
tunggal, dan tak terlihat karena tak tersusun, dan tak ada susunan bagi-Nya,
tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia
adalah penyebab gerak segara yang dilihat.[2]
3.
Filsafat
Jiwa
Menurut
Al-kindi roh tidak tersusun tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia.
Subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah,
terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan
pemarah. Al-Kindi membuat perbandingan tentang keadaan jiwa. Jika kemuliaan
jiwa diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenangan jasmani, al-Kindi
membandingkan dengan babi, karena kecakapan apetitif menguasai mereka. Jika
dorongan-dorongan hawa nafsu birahi yang sangat dominan, dibandingkan al-Kindi
dengan anjing. Sedangkan bagi mereka yang menjadikan akal sebagai tuannya,
dibandungkan al-Kindi dengan raja. Namu demikian, antara jiwa dan jisim,
kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan.
Bimbingan ini dibutuhkan agar hidup manusia menjadi serasi dan seimbang.
Ketidak seimbang akan terjadi apabila salah satu dari unsur ini berkuasa. Untuk
mencapai keseimbangan, manusia memerlukan tuntunan. Yang menuntun ialah iman
dan wahyu.
Argumen yang dimajukan al-Kindi tentang peralihan
roh dari badan ialah roh yang menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah
(passion) sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat al-Kindi tersebut ia lebih dekat pada pemikiran plato ketimbang
pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu karena
jiwa adalah form bagian badan. Form tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentik kesatuan essensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Jiwa adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk
beberapa saat lamanya, kemudian melepaskannya tanpa mempengaruhi
kejasmaniannya. Namun al-Kindi tidak menyetujui Plato ia mengatakan bahwa jiwa
berasal dari alam ide.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai 3 daya,
yaitu daya bernafsu, daya pemarah dan daya berfikir. Daya berpikir itu yang
disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal : akal yang bersifat
potensil, akal yang telah keluar dari sifat potensil menjadi aktuil. Dan akal
yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas disebut Yang Kedua.[3]
Akal
yang potensil tidak bisa mempunyai sifat aktul jika tidak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, bagi Al-Kindi ada lagi satu macam
akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang
selamanya dalam aktualitas. Akal ini,
karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat
potensil dalam roh manusia menjadi aktuil. Sifat-sifat akal ini :
a.
Ia merupakan Akal Pertama
b.
Ia selamanya dalam aktualitas
c.
Ia merupakan species dan genus
d.
Ia membuat akal potensil menjadi aktuil
berpikir
e.
Ia tidak sama dengan akal potensil
tetapi lain dari padanya
Akal pertama ini bagi
Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan
dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak.
Jiwa
atau roh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan
badan maka roh memperoleh kesenangan yang sebetulnya dalam bentuk mengetahuan
yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan roh pergi ke Alam Kebenaran atau
alam akal di atas bintang di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan
dan dapat melihat Tuhan. Disinilah letak kesenangan abadi dalam roh.[4]
Hanya roh yang suci didunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu.
Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil
membersihkan diri di sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah naik
setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya setelah benar-benar bersih, sampai
ke alam akal. Di sini terlihat bahwa al-Kindi tidak percaya pada kekekalan
hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal. Kendatipun bagi al-Kindi jiwa adalah qadim,
namun ke qadimannya berbeda dengan ke qadimannya Tuhan. Qadimnya jiwa karena
diqadimkan oleh Tuhan.
4.
Filsafat Alam
Mengenai
alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles
Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”,
sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan
pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara
matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan
bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas,
meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya
Allah-lah yang kekal.
Al-Kindi
juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai
permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang
mengatakan bahwa
Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada.
Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini
kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas
menulis tentang hal itu.[5]
Menurut
al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari
baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua
benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah
sama besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar,
juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang
mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari
dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka
keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka
besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian
diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya
adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen
yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen
yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan
terbatas.
Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas
ungkapannya di atas adalah alam semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu
ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak
terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran alam ini sebagai
bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
5.
Filsafat
Jiwa dan Akal
Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat al-Kindi
banyak dipengaruhi oleh ide-ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi
mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik atau kesempatan fisik yang
mempunyai alat dan mengalami kehidupan. Definisi ini merupakan definisi yang
digagas Aristoteles, al-Kindi juga menyebutkan definisi yang ditengarai
bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang mempunyai
kehormatan, kesempurnaan, kedudukan luhur dan substansinya berasal dari
substasi Sang Pencipta”
Definisi yang dipaparkan kembali oleh al-Kindi
dialamatkan pada jiwa rasional yang disebutnya al-Nafs al-Natluqah. Menurutnya
jiwa ini merupakan substansi yang bersifat Ilahi,Rabbani dan berasal dari
cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari
dunia akal kedunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.
Al-Kindi meyakini doktrin kekekalan jiwa. Menurutnya
jiwa akan kekal meskipun setelah kematian dan perpisahannya dengan raga. Jiwa
berpindah dari alam penuh tuntutan menuju ketempat keabadian, berkumpul bersama
cahaya milik Sang Pencipta. Di tempat itu, jiwa dinilai mampu memandang segala
hal lebih jelas dari pandangan-pandangan sebelumnya jiwa yang mampu menangkap
yang nyata dan yang masih rahasia.
Sepanjang jiwa Masih berada dalam raga, jiwa tidak
akan memperoleh kesenangan hakiki dan kesempurnaan pengetahuan. Hanya ketika
jiwa sudah bercerai dan meninggalkan raga, kesenangan jiwa dan kesempurnaan
pengetahuan dapat tercapai. Jiwa jiwa beranjak meninggalkan objek-objek
terindera dan menuju alam kebenaran yang dinaungi Nur Pencipta, berada dekat
dengan Tuhan dan dikaruniai kemampuan melihat Tuhan. Hanya saja, al-Kindi
berkeyakinan bahwa hanya jiwa yang suci yang dapat pergi ke alam kebenaran.
Adapun yang masih kotor, akan terlebih dahulu melalui etape pembersihan.
Meskipun al-Kindi percaya bahwa jiwa itu kekal, al-Kindi tidak serta merta
menyamakan kekekalan jiwa dengan kekekalan Sang Pencipta. Jiwa memang qadim,
namun aspek ke qadiman-Nya karena di qadim kan oleh Tahun yang maha Qadim.[6]
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat
untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir
ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya, semakin
banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan, maka
akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya untuk
menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil dari
ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan
dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-Qur’an pada Surat
az-Zumar ayat 9:
ô`¨Br&
uqèd
ìMÏZ»s%
uä!$tR#uä
È@ø©9$#
#YÉ`$y
$VJͬ!$s%ur
âxøts
notÅzFy$#
(#qã_ötur
spuH÷qu
¾ÏmÎn/u
3 ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
tûïÏ%©!$#
tbqçHs>ôèt
tûïÏ%©!$#ur
w
tbqßJn=ôèt
3 $yJ¯RÎ)
ã©.xtGt
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÒÈ
(Apakah
kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles
yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur,
materi dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan
dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak
bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi
atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini
mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan.
Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang
bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini
al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan
adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun,
ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam
ide.
Mengenai akal, al-Kindi juga
berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal menjadi dua
macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran,
sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan
oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan
takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat
macam; pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial
berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya
menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan
dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki
pengetahuan dan yang mempraktekkannya.
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang
bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan
yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi
satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal
yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini,
karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat
potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut
menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah
memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal
yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak,
karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari
Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu
muktatsar).[7]
[2]Hasan Basri, Filsafat Islam , hlm 43 - 44
[4]Hana al-Fahuri dan Khalil al-Jarr, Tarikh
al-Falsafah al-Arabiyah, (Beirut : Muassasat ;i al-Thaba’ah wa al-Nasyr,
(1963), hlm 366-367
[5] Harun
Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15. Sebenarnya filsafat
Plotinus merupakan filsafat yang murni dan orisinil dalam beberapa
pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan
filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga,
bukan saja dalam membaca karya Plato, tapi juga karya Aristoteles, karena
menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti.
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, (Bandung: Salman, 1983),
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, (Bandung: Salman, 1983),
Posting Komentar