Selamat Datang di Blog Anggylhy 26

Filsafat Al-Kindi


 
Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini ditunjukkan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran.
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadilah), ilmu tentang semua hal yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat dengan kebenaran, semakin dekat pula kepada kesempurnaan.
Dalam keterangan Al-kindi tersebut terdapat unsur-unsur pikiran Plato dan Aristoteles. Unsur Aristoteles terlihat pada pembagian filsafat bersifat teori dan amalan. Unsur Plato ialah tercermin dari pendefinisinya terhadap filsafat, karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada dugaan (dhan).
Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras. Aliran Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Sesuai dengan itu, maka Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan. Dalam riasalah lain yang berjudul Buku Aristoteles, Al-kindi menekankan perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan urut-urutan kegunaan  dan tingkatannya. Dengan demikian maka Al-Kindi selain memperlihatkan corak Platonisme dan Pitagorasme,  ia merupakan pengikut Aristoteles pertama di Arab.
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek antara lain:
1.             Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi telah mengingkari kebenaran, dan karena itu ia dapat dikelompokan kepada kafir, karena orang tersebut telah jauh dari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal yang sebaliknya. Dengan demikian, kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya, sebab tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Karena itu, tidak wajar merendahkan kebenaran serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorangpun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang memperdagangkan agama dan hakikatnya orang itu tidak lagi beragama karena ia buka orang beragama. Orang yang mengingkari usaha mengetahui hakikat sesuatu berhak untuk membebaskannya dari agama, sehingga ia disebut sebagai orang kafir.
Disamping argumen rasional, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang hanya terjemahan adalah sebagai berikut.
a)      Surat Al-Nasyr [59]: 2
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/̍øƒä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷ƒr'Î/ Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
b)      Surat Al-A’raf [7]: 185
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ Ïs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Ädr'Î7sù ¤]ƒÏtn ¼çny÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ  
Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
c)      Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
Maka apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
d)     Surat Al-Baqarah [2]: 164
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ  
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaan antara keduanya. Sebagai dijelaskan al-Kindi dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles, sebagai beritut :
a.       Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filsuf dengan berfikir, belajar, sedangkan agama aalah ilmu ketuhanan yang menemapati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung uleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
b.      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian (semu) dan memerlukan berfikir dan perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa al-Quran memberi jawaban secara pasti dan meyakinkan dengan mutlak. Bandingkan dengan surah yasin ayat 79-81
c.       Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal. Baginya, tanggapan pemikiran belum dapat menjamin kebenaran sesuatu, karena itu dibutuhkan alat menjamin untuk kebenaran sesuatu yaitu mura’ah al-zhani’ah anil khatha’i[1]
2.             Filsafat Ketuhanan
Selain seorang filosof, Al-kindi adalah seorang ahli ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu :
a.       Pengetahuan Ilahi (Divine Science) sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an yaitu Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b.      Pengetahuan Manusiawi (Human Science), atau falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (knowledfe of truth). Di sinilah terlihat persamaan filsafat dengan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, begitu pula tujuan tujuan filsafat. Disamping wahyu, agama menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama (the fisrt truth) bagi Al-kindi ialah Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya filsafat membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kindi “Filsafat yang tekemuka dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu tentang yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”
Tuhan dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak serupa dengan Tuhan. Tuhan itu unik. Ia adalah Yang Benar Pertama dan Yang Benar Tunggal. Ia semata-mata satu.. hanya ialah yang satu, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Manusia dapat saja mengatakan bahwa membicarakan Tuhan adalah pembicaraan yang supra-rasional. Benar bahwa Tuhan itu tidak sepenuhnya rasional bila dibicarakan dengan standar rasinalitas manusia. Dalam masalah ini, hal-hal yang supra-rasional mesti dimasukan ke dalam kedalam sistem keyakinan. Meyakini sesuatu yang supra-rasional merupakan bagian dari pekerjaan hati (pemandu rasa). Dari sini terlihat diutamakannya  prinsip keseimbangan antara akal dan hati, antara rasio dan iman dalam filsafat al-Kindi.
Pengetahuan tentang tuhan, oleh al-Kindi disebut sebagai filsafat awal atau filsafat pertama, filsafat yang mewacanakan al-Haqq sebagai telos yang akan mengakhiri kerja filsafat. Al-kindi pernah berpendapat mirip denganyang dikemukakan oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa karena Allah, maha Terpuji, Dia adalah penyebab gerak ini yang Abadi (Qadim), maka ia tak dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa mengerakan diri-Nya. Secara sederhana, tunggal sehingga tak dapat dipecah lagi menjadi lebih tunggal, dan tak terlihat karena tak tersusun, dan tak ada susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia adalah penyebab gerak segara yang dilihat.[2]
3.             Filsafat Jiwa
Menurut Al-kindi roh tidak tersusun tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Al-Kindi membuat perbandingan tentang keadaan jiwa. Jika kemuliaan jiwa diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenangan jasmani, al-Kindi membandingkan dengan babi, karena kecakapan apetitif menguasai mereka. Jika dorongan-dorongan hawa nafsu birahi yang sangat dominan, dibandingkan al-Kindi dengan anjing. Sedangkan bagi mereka yang menjadikan akal sebagai tuannya, dibandungkan al-Kindi dengan raja. Namu demikian, antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Bimbingan ini dibutuhkan agar hidup manusia menjadi serasi dan seimbang. Ketidak seimbang akan terjadi apabila salah satu dari unsur ini berkuasa. Untuk mencapai keseimbangan, manusia memerlukan tuntunan. Yang menuntun ialah iman dan wahyu.
Argumen yang dimajukan al-Kindi tentang peralihan roh dari badan ialah roh yang menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah (passion) sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang. Dengan pendapat al-Kindi tersebut ia lebih dekat pada pemikiran plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagian badan. Form tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentik kesatuan essensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Jiwa adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya, kemudian melepaskannya tanpa mempengaruhi kejasmaniannya. Namun al-Kindi tidak menyetujui Plato ia mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai 3 daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah dan daya berfikir. Daya berpikir itu yang disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal : akal yang bersifat potensil, akal yang telah keluar dari sifat potensil menjadi aktuil. Dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas disebut Yang Kedua.[3]
Akal yang potensil tidak bisa mempunyai sifat aktul jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya  dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensil dalam roh manusia menjadi aktuil. Sifat-sifat akal ini :
a.       Ia merupakan Akal Pertama
b.      Ia selamanya dalam aktualitas
c.       Ia merupakan species dan genus
d.      Ia membuat akal potensil menjadi aktuil berpikir
e.       Ia tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padanya
Akal pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak.
Jiwa atau roh selama berada  dalam  badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan maka roh memperoleh kesenangan yang sebetulnya dalam bentuk mengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan roh pergi ke Alam Kebenaran atau alam akal di atas bintang di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah letak kesenangan abadi dalam roh.[4]
Hanya roh yang suci didunia  ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal. Di sini terlihat bahwa al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Kendatipun bagi al-Kindi jiwa adalah qadim, namun ke qadimannya berbeda dengan ke qadimannya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.
4.             Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”, sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal itu.[5]
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
 Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
5.             Filsafat Jiwa dan Akal
Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik atau kesempatan fisik yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan. Definisi ini merupakan definisi yang digagas Aristoteles, al-Kindi juga menyebutkan definisi yang ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang mempunyai kehormatan, kesempurnaan, kedudukan luhur dan substansinya berasal dari substasi Sang Pencipta”
Definisi yang dipaparkan kembali oleh al-Kindi dialamatkan pada jiwa rasional yang disebutnya al-Nafs al-Natluqah. Menurutnya jiwa ini merupakan substansi yang bersifat Ilahi,Rabbani dan berasal dari cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari dunia akal kedunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.
Al-Kindi meyakini doktrin kekekalan jiwa. Menurutnya jiwa akan kekal meskipun setelah kematian dan perpisahannya dengan raga. Jiwa berpindah dari alam penuh tuntutan menuju ketempat keabadian, berkumpul bersama cahaya milik Sang Pencipta. Di tempat itu, jiwa dinilai mampu memandang segala hal lebih jelas dari pandangan-pandangan sebelumnya jiwa yang mampu menangkap yang nyata dan yang masih rahasia.
Sepanjang jiwa Masih berada dalam raga, jiwa tidak akan memperoleh kesenangan hakiki dan kesempurnaan pengetahuan. Hanya ketika jiwa sudah bercerai dan meninggalkan raga, kesenangan jiwa dan kesempurnaan pengetahuan dapat tercapai. Jiwa jiwa beranjak meninggalkan objek-objek terindera dan menuju alam kebenaran yang dinaungi Nur Pencipta, berada dekat dengan Tuhan dan dikaruniai kemampuan melihat Tuhan. Hanya saja, al-Kindi berkeyakinan bahwa hanya jiwa yang suci yang dapat pergi ke alam kebenaran. Adapun yang masih kotor, akan terlebih dahulu melalui etape pembersihan. Meskipun al-Kindi percaya bahwa jiwa itu kekal, al-Kindi tidak serta merta menyamakan kekekalan jiwa dengan kekekalan Sang Pencipta. Jiwa memang qadim, namun aspek ke qadiman-Nya karena di qadim kan oleh Tahun yang maha Qadim.[6]
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya untuk menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
 (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).[7]




[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm 19
[2]Hasan Basri, Filsafat Islam , hlm 43 - 44
[3] Hasyimsyah Nasution, filsafat islam, hlm 23
[4]Hana al-Fahuri dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyah, (Beirut : Muassasat ;i al-Thaba’ah wa al-Nasyr, (1963), hlm 366-367
[5]  Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15. Sebenarnya filsafat Plotinus merupakan filsafat yang murni dan orisinil dalam beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, tapi juga karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti.    
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, (Bandung: Salman, 1983), 
[6] Hasan Basri, Filsafat Islam , hlm 47-48
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, hlm. 19-20
Share this post :

Posting Komentar

PAPAN PENGUMUMAN

 
Support : Link here | Link here | Link here
Copyright © 2014. @26 Selalu Dihati Selalu Dinanti - All Rights Reserved
Template by Anggylhy Published by Cargam Schoolzine
Proudly powered by Blogger