A. Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
bendanya adoloscentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa
remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Masa remaja adalah
masa penuh emosional, sulit memecahkan persoalan dalam hidup. Masa remaja
adalah masa yang mudah terpengaruh oleh lingkungan, baik lingkungan positif
maupun lingkungan negatif.[1]
Masa remaja di bagi menjadi tiga
masa[2]
yaitu:
1. Masa Pra
Pubertas (Usia 12-14 Tahun)
Masa ini adalah masa peralihan dari
masa sekolah menuju masa pubertas, di mana seorang anak yang telah besar ini
sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum siap. Pra
pubertas adalah saat terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan
kematangan kelenjar endokrin, sehingga anak merasakan adanya
rangsangan-rangsangan tertentu yang membuat anak merasa tidak tenang
karena merasakan suatu rasa yang belum pernah dialami sebelumnya. Hal itu dapat
terlihat dengan perubahan tingkah lakunya.
2. Masa
Pubertas (Usia 14-18 Tahun)
Pada masa ini seorang anak tidak
lagi hanya bersifat reakti, tetapi juga mulai aktif mencapai kegiatan dalam
rangka menemukan dirinya, serta mencari pedoman hidupuntuk bekal kehidupannya
mendatang. Kegiatan tersebut dilakukannya penuh semangat menyala-nyala tetapi
ia sendiri belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu.
Sehingga Ch. Buhler pernah menggambarkan dengan ungkapanya “ saya
mengingikan sesutatu tetapi tidak mengetahui akan sesutatu itu”. Sehingga masa
ini ada yang menyebut masa strumund drang atau masa badai atau dorongan.
Mengenai tanda-tandanya yaitu mereka mulai bersikap untuk mencoba memutuskan
sendiri dan ikut berbicara dalam suatu permasalahan karena mereka merasa ingin
dilihat inilah saya.
3. Masa
Adoleson (Usia 18-21 Tahun)
Pada masa ini seorang sudah dapat
mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta
sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidupnya. Masa ini sebenarnya memiliki
sifat-sifat seperti sikap positif dalam menentukan system tata nilai dan
menunjukan ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupanya.
Menurut Papalia dan Olds masa remaja
adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir
belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Sedangkan menurut Adams &
Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20
tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal
(13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18
tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa
remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati
masa dewasa.
B. Metode PAI pada Masa Remaja
Remaja adalah anak yang
berada pada usia bukan anak-anak, tetapi juga belum dewasa. Periode remaja itu
belum ada kata sepakat mengenai kapan dimulai dan berakhirnya. Ada yang
berpendapat bahwa usia remaja itu antara 13-21, ada juga yang mengatakan antara
13-19 tahun. Telah diketahui bersama bahwa anak adalah asset terbesar bagi
orang tua, anak adalah amanah Allah yang perlu didik. Oleh karena itu, agama
harus ditanamkan pada diri mereka.
Dalam mengajarkan agama
pada remaja diperlukan berbagai metode. Adapun metode yang digunakan
untuk mengajarkan agama pada remaja telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
antara lain:
a.
Metode keteladanan
Ketelaudanan dalam pendidikan merupakan metode yang
berpengaruh dalam aspek moral spiritual anak adalam remaja mengingat pendidik
adalah figur terbaik dalam pandangan anak. Metode ini dapat diterapkan pada
usia remaja misalnya contohkan shalat, mengaji dan ibdah-ibada atau perbuatan
baik lainnya.
b. Metode
Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara mengajar dengan menggunakan
peragaan atau memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses tertentu kepada
yang diajar.[3]
Metode ini dapat digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja, misalnya
mendemonstrasikan langsung seperti; praktek shalat, wudhu, atau praktek
penyelenggaraan shalat jenazah.
c. Metode
nasihat
Termasuk metode pengajaran agama pada remaja yang cukup berhasil
dalam membentuk aqidah anak (remaja) dan mempersiapkannya baik secara
moral, maupun emosional adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan
kepadanya nasehat-nasehat. Karena nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam membuka mata anak (remaja) akan hakikat sesuatu, mendorong untuk
menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.[4]
Menurut Abudinata bahwa nasehat ini cocok untuk remaja
karena dengan kalimat-kalimat yang baik dapat menentukan hati untuk
mengarahkannya kepada ide yang dikehendaki. Menurut beliau bahwa metode nasehat
itu sasarannya adalah untuk menimbulkan kesadaran pada orang yang
dinasehati agar mau insaf melaksanakan ajaran yang digariskan atau
diperintahkan kepadanya.[5]
d. Metode
pendekatan analisis nilai
Memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan remaja dan dewasa untuk berpikir secara positif serta
mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari. Kemudian mereka diberikan
keleluasaan untuk beraktifitas serta menilai apakah yang dilakukannya itu
bermanfaat bagi orang lain atau tidak sehingga mereka dapat
mengintropeksi diri dan biarkan diri mereka sendiri yang menilai.
C. Keyakinan dan Aplikasi Keagamaan
pada Remaja
Dari sudut pandangan
individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir
baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap
kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan
dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan
social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan
bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan
orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama
merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Bagi remaja, agama
memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan
oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral,
sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat
menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa
seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama
bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan
masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan
yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki
kemampuan berpikir simbolik. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan
agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu
meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam
perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran
keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan
kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.[6]
Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat sangkut paut
keyakinan beragama dengan moral remaja terutama dalam masalah-msalah sebagai
berikut:
·
Tuhan Sebagai Penolong Moral
Dengan itu dapat di tegaskan bahwa Tuhan bagi remaja adalah
keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong
moral dari pada sandaran emosi. Kepercayaan kepada Allah pada periode pertama
dari masa remaja, bukanlah keyakinan fikiran, akan tetapi adalah kebutuhan
jiwa.
·
Pengertian Surga dan Neraka
Pada masa remaja surga dan neraka tidak lagi di ibaratkan
sesuatu yang akan dirasakan dikemudian hari, namun remaja mengibaratkan surga
dan neraka adalah sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya dan menghubungkannya
dengan hal-hal yang kongkrit.
·
Pengertian Tentang Malaikat dan Setan.
Memuncaknya rasa dosa pada masa remaja dan bertambah
meningkatnya kesadaran moral dan petumbuhan kecerdasan, semuanya bekerjasama,
sehingga hilanglah keyakinannya tentang malaikat dan setan seperti pemahaman
masa kecilnya, namun mereka sadar bahwa betapa erat hubungan setan dan malaikat
itu dengan dirinya. Mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan
dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya dan hubungan antara malaikat
dengan moral serta keindahan yang ideal, demikian antara surga dan ketentraman
batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketentraman batin dan
hukuman-hukuman atas dosa, intinya adalah remaja sudah mulai melepaskan
diri dari alam khayal ke alam kenyataan.[7]
Spilka
menyatakan bahwa penanaman agama yang terhenti sebelum seseorang mencapai
formal operation stage kadang akan sulit untuk diperbaiki. Oleh karena itu
pemberian materi agama bagi remaja harus tetap dilakukan dengan memperhatikan
berbagai aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja.
Dilihat dari segi muatanya, pendidikan
agama Islam merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang
tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran yang lain sehingga penyampaian materi agama harus
disampaikan menggunakan konsep yang luas, dengan mengaitkan berbagi cabang ilmu
pengetahuan lain dan disampaikan secara mendalam. Hal ini sesuai dengan
berbagai aspek perkembangan remaja baik kondisi maupun kejiwaannya sehingga
mampu mendorong minat beragama serta menumbuhkan minat untuk menggali secara
mendalam mengenai berbagai pengetahuan agama, sehingga dapat menjawab segala
pertanyaan mengenai suatu hal yang berkaitan dengan keyakinannya dan menjawab
semua persoalan pribadinya.
Anak remaja memasuki masa kritis dan skeptis. Pengahayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan
mungkin atas pertimbangan adannya semacam tuntutan yang memaksa dari luar
dirinya. Implikasi dari perkembangan perilaku, moral, dan keagamaan anak usia
sekolah menengah adalah pendidikan hendaknya dilaksanakan dalam bentuk
kelompok-kelompok belajar, atau perkumpulan remaja yang positif.[8]
Ada beberapa sikap pada
remaja diantaranya yaitu[9]:
·
Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan
ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari
keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa
remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang
lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
·
Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan
dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka
miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang
baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara
ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun
atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
Dalam bentuk positif semangat agama yang
positif, yaitu berusahamelihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi
menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan
membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
Dalam bentuk negative Semangat keagamaan
dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi,
yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar ke dalam masalah-
masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
·
Percaya, tetapi agak ragu-ragu.
Keraguan kepercayaan
remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a) Keraguan
disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya.
Hal ini merupakan kewajaran.
b) Keraguan
disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang
diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
·
Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah
tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil.
Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua,
maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua,
selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
Ada beberapa ciri-ciri
kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja. Diantaranya adalah:
a) Pengalaman
ke-Tuhanannya makin bersifat individual
b) Keimanannya
semakin menuju realitas sebenarnya
c) Peribadatan
mulai disertai penghayatan yang tulus
[1] http://blog-0menz.blogspot.com/2012/02/proses-pendidikan-agama-islam-dalam.html
[2] Abu
Ahmadi, 2005, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Renika Cipta, hlm 121
[3] Asm
Arif, , 2002, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cet. I; h. 190
[4] Abdullah
Nashih Ulwan, 2007,Pendidikan Anak dalam
Islam, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. I; h. 209.
[5] Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
98
[6] http://pusatilmupsikologi.blogspot.com/2012/03/perkembangan-moral-dan-agama-pada.html
[7] https://imronfauzi.wordpress.com/category/psikologi-agama/
[8] http://tha-yunitasari.blogspot.com/2013/05/makalah-perkembangan-moralitas-dan.html
[9] http://www.psychologymania.com/2012/06/kesadaran-beragama-pada-remaja.html
Posting Komentar